Secara bahasa
isbal adalah diambil dari kata “Asbala izaarahu”, yang artinya “menjuraikannya”. Jika dikatakan “asbala fulanun tsiyabahu” artinya orang tersebut memanjangkan dan menjuraikan pakaiannya sampai ke tanah”.

Secara istilah
isbal adalah
(1) menjuraikan kain/celana sehingga ujung kain/celana harus diseret ketika berjalan
(2) menjuraikan dan melabuhkan pakaian hingga melewati batas yang telah ditetapkan dalam nash-nash syar’i, baik karena sombong atau tidak.

Apakah Isbal Permasalahan yang Sepele ?

Banyak diantara kaum muslimin yang meremehkan permasalahan yang satu ini, sebagian diantara mereka berkata “ah… kalian ini hanya berbicara masalah yang sepele, ini kan masalah furu’ (masalah cabang, bukan masalah pokok), gimana islam mau maju…”. Sama persis seperti perkataan beliau yang saya kutip di atas.

Saya katakan kepada beliau agar menyimak firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam islam secara kaffah” (QS. Al-Baqarah : 208).
Ibnu Katsir rohimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa “masuklah kalian ke dalam islam dan ta’atilah seluruh perintah-perintahnya”.

Al-Ausy rohimahullah berkata “makna (dari ayat tersebut) adalah “masuklah kalian ke dalam islam dengan seluruh dirimu, dan janganlah kamu biarkan sedikitpun, baik itu yang berhubungan dengan hal-hal yang lahir maupun yang batin melainkan berada dalam islam, sehingga tidak ada tempat bagi yang lain (dari selain islam)”.

Tidaklah pantas seorang muslim meremehkan suatu perkara di dalam agama ini, yang perkara tersebut adalah perkara yang besar. Saya bawakan salah satu kisah dari khalifah Umar bin Khattab rodhiallahu’anhu yang sangat masyhur yaitu ketika peristiwa terbunuhnya beliau,

Setelah Umar bin Khattab ditikam oleh seorang budak ketika mengimami sholat subuh berjama’ah di masjid, beliau segera dibawa kerumahnya dan para sahabat yang lain mengikuti beliau sampai kerumahnya. Setelah sampai dirumah beliau, para sahabat memberi beliau minuman nabidz dan beliau langsung meminumnya, namun minuman tersebut keluar kembali dari lubang tikaman diperutnya. Kemudian dibawakan kepadanya susu dan beliau meminumnya, namun susu tersebut juga keluar dari perutnya yang ditikam.

Tiba-tiba datang seorang pemuda dan berkata kepada beliau “Bergembirahlah wahai amirul mu’minin dengan berta gembira dari Allah untukmu, engkau adalah sahabat Rasulullah, pendahulu islam, engkau adalah pemimpin dan engkau berlaku adil, kemudian engkau diberikan Allah syahadah (mati syahid)”, Umar lalu menjawab “Aku berharap seluruh perkara yang engkau sebutkan tadi cukup untukku, tidak lebih ataupun kurang”. Tatkala pemuda itu berbalik ternyata pakaiannya terjulur hingga menyentuh lantai (isbal). Umar lantas memanggilnya dan berkata, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu sesungguhnya hal itu akan lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih menaikkan ketaqwaanmu kepada Rabbmu”, [Lihat Al-bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir].

Umar bin Khattab yang merupakan sahabat kibar menganggap perkara tersebut adalah perkara yang besar, bahkan ketika menjelang ajalnya beliau masih menyempatkan diri untuk menasehati seorang pemuda yang berpakaian isbal. Bagaimanakah dengan kita? apakah kita merasa lebih berilmu dan lebih taqwa dibandingkan Umar bin Khattab sehingga menganggap remeh permasalahan tersebut?

Dalil Larangan Berpakaian Isbal

Banyak sekali dalil yang mengharamkan berpakaian isbal baik dalam keadaan sombong atau tidak. Tercatat sebanyak 15 sahabat rasul yang meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan permasalahan isbal. Diantaranya adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, ‘Aisyah, Abu Sa’id Al-Khudry, Hudzaifah, Abu Umamah, Samurah bin Jundub, Al-Mughirah bin Syu’bah, Sufyan bin Sahl, ‘Ubaid bin Khalid, Jabir bin Sulaim, ‘Amru bin Syarid, ‘Amru bin Zarrah, Anas bin Malik, rodhiallahu’anhum. Begitu banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits mengenai larangan berpakaian isbal menandakan bahwa hadits-hadits tersebut saling menguatkan dan mencapai tingkatan mutawatir.

Berikut saya bawakan dalil mengenai haramnya berpakaian isbal :

(1)Diriwayatkan dari Ibnu Abbas rodhiallahu’anhu secara marfu’

“Segala sesuatu yang melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya adalah) di neraka” [Lihat Shahihul Jaami’ no. 4532].

(2)Dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, dari Nabi shollahu’alaihiwasallam, beliau bersabda,
“Segala sesuatu yang turun melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits Shahih di keluarkan oleh Bukhori no. 5787, Nasa’i 5331, Ahmad 9618)

(3)Dari ‘Aisyah rodhiallahu’anha dari Nabi shollahu’alaihiwasallam,

“Apa saja yang berada di bawah mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Ahmad)

(4)Dari Samurah bin Jundub rodhiallahu’anhu, lafaznya sama dengan hadits di atas.

(5)Dari Ibnu Umar rodhiallahu’anhu dia berkata Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda,

“Segala sesuatu yang dibalik (dibawah) mata kaki maka tempatnya di neraka”, [Lihat Shahihul Jaami’ no. 5618].

Hadits-hadits shahih di atas menyatakan bahwa ancaman isbal sangat berat yaitu diancam dengan neraka, dan ketahuilah bahwa kaidah ushul fiqh menyatakan “jika suatu dosa yang diancam dengan ancaman neraka maka hakekatnya itulah dosa besar”. Kaidah ini sudah ma’ruf dikalangan ushuliyyin. Berikut rincian kaidah suatu dosa dianggap dosa besar [Lihat Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Utsaimin, Darul Aqidah hal. 78] :

1. Setiap dosa yang ada padanya ancaman khusus (salah satunya ancaman neraka –pen), maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Dalam hal ini isbal dikategorikan kedalamnya.

2. Setiap dosa yang ada padanya hukuman hadd di dunia, maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Misalnya membunuh dan berzina.

3. Setiap dosa dimana nabi berlepas diri dari pelakunya, maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Misalnya tinggal di negeri kafir dan tidak mampu memperlihatkan syi’ar islam di negeri tersebut.

Selain dalil di atas, saya bawakan dalil larangan isbal secara mutlak :

(1) Dari Al-Mughirah bin Syu’bah rodhiallahu’anhu, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam,

“Wahai Sufyan bin Sahl janganlah kamu melakukan isbal, sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan isbal” [Hadits Hasan, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah 2876].

(2) Dari Jabir bin Sulaim rodhiallahu’anhu bahwasanya Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah bersabda kepadanya,

“…dan berhati-hatilah kamu terhadap isbalnya sarung (pakaian), karena sesungguhnya isbalnya sarung (pakaian) itu adalah bagian dari kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Lihat As-Shahihah 770].

Ingat kembali kaidah ushul yang menyatakan bahwa “larangan itu menunjukkan keharaman” atau “asal hukum larangan adalah menunjukkan keharaman”. Dan larangan pada hadits tersebut bersifat mutlak dan tidak bisa diingkari lagi.



Haram Melakukan Isbal Walaupun Tanpa Kesombongan

Sebagian manusia mengatakan “tidak apa-apa isbal asal tidak dengan kesombongan”. Mereka berdalil dengan Hadits Ibnu Umar, beliau rodhiallahu’anhu berkata :

“Aku pernah masuk menemui Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan ketika itu pakaianku berbunyi (karena terseret-seret ketanah -pen) maka beliau bertanya ‘siapakah ini ?’ jawabku ‘Abdullah bin Umar’, beliau bersabda ‘jika engkau Abdullah (hamba Allah -pen) maka angkatlah pakaianmu’, maka akupun mengangkatnya, beliau bersabda ‘tambah lagi (angkat lebih tinggi lagi –pen)’, kata Ibnu Umar ‘maka akupun mengangkatnya hingga mencapai setengah betis’, begitulah keadaan pakaiannya hingga ia meninggal dunia.

Kemudian beliau menoleh ke Abu Bakar, lalu bersabda ‘barang siapa yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat’, maka Abu Bakar berkata ‘sesungguhnya pakaianku sering turun’, lalu Rasulullah bersabda ‘kamu tidak termasuk dari mereka’, (dalam riwayat yang lain dinyatakan ‘kamu bukan orang yang melakukannya dengan sombong’)”. [Dikeluarkan oleh Ahmad, Abdurrazzaq dan yang lainnya. Syaikh Al-Albany mengatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim, Lihat As-Shahihah 4/95).

Ketahuilah bahwa dalil di atas justru juga digunakan oleh para ulama akan keharaman isbal. Maka Hadits di atas sebenarnya bukan hujjah buat mereka yang berpendapat demikian, akan tetapi justru merupakan hujjah untuk membantah mereka. Ketika mengomentari hadits tersebut Syaikh Al-Albani mengatakan :
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang jelas bahwasanya wajib bagi setiap muslim untuk tidak memanjangkan pakaiannya sampai di bawah mata kaki akan tetapi hendaklah dia mengangkatnya ke atas kedua mata kaki sekalipun hal tersebut dilakukan dengan tidak disertai sombong.

Dalam hadits ini pula terdapat bantahan yang jelas terhadap para masyayikh yang memanjangkan ujung jubah-jubah mereka sampai hampir-hampir menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa mereka meninggalkannya demi mengikuti perintah Rasulullah sebagaimana yang beliau perintahkan kepada Ibnu Umar ? Ataukah mereka merasa lebih suci hatinya daripada Ibnu Umar ?” [Lihat As-Shahihah 4/95 oleh Al-Albani].

Saya bawakan perkataan Syaikh Utsaimin dalam permasalahan tersebut, bahwa hadits tersebut tidak tepat dijadikan hujjah dipandang dari 2 sisi :

(1) Perkataan Abu Bakar rodhiallahu’anhu “Sesungguhnya salah satu dari ujung kainku sering turun, kecuali jika aku menjaganya” (lihat Ghayatul Maraam no. 90 -pen). Dengan demikian jelaslah bahwa Abu Bakar memang tidak sengaja menurunkan pakaiannya karena bermaksud sombong, akan tetapi pakaiannya turun dengan sendirinya namun ia selalu menjaganya, (bandingkan dengan orang-orang yang memang sengaja menurunkan celananya dan menganggap remeh permasalahan ini, apakah mereka merasa lebih baik dari Abu Bakar -pen).

(2) Bahwasanya Abu Bakar telah mendapat rekomendasi dari Rasulullah dan beliau menyadarinya bahwa Abu Bakar bukan orang yang melakukannya dengan maksud sombong. Maka apakah orang-orang yang menurunkan celana dengan sengaja apakah sudah mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah?.

Syaikh Bin Baz mengomentari hadits tersebut “…sebab dia (Abu Bakar) tidak sengaja memanjangkannya, (yang terjadi pada keadaan seperti ini) hanya bahwa pakaiannya sendiri yang suka turun, namun dia selalu mengangkat dan menjaganya, yang demikian ini tidak dapat dipungkiri akan keudzurannya. Adapun orang yang memang sengaja menurunkannya baik itu celana, sarung atau baju, maka ia terkena ancaman, dan perbuatannya itu tidak termasuk udzur. Sebab hadits-hadits shahih yang melarang tentang isbal ini telah mengenai dirinya, baik secara lafaz maupun secara makna dan maksudnya…”.

Terdapat hadits lain yang menegaskan permasalahan ini, yaitu hadits dari Abu Umamah rodhiallahu’anhu dimana dia berkata,

“Tatkala kami bersama Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tiba-tiba kami disusul oleh Amru bin Zarrah Al-Anshari dengan memakai hiasan sarung dan mantel yang isbal, maka Rasulullah mengambil ujung pakaiannya dan bertawadhu’ kepada Allah lalu berkata, ‘Hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu dan anak hamba perempuanmu’, sampai di dengar oleh Amru lalu ia berkata ‘wahai Rasulullah sesungguhnya aku ini mempunyai betis yang kurus’, maka Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah telah memperindah setiap ciptaan-Nya, wahai Amru sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang isbal” [Hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dan derajatnya hasan).

Ketika mengomentari hadits ini Ibnu Hajar rohimahullah berkata “Dhohir hadits tersebut menunjukkan bahwa Amru tidak bermaksud melakukan isbal karena sombong. Namun demikian dia telah dilarang oleh Rasulullah untuk melakukannya, sebab pada isbal itu terdapat kesombongan” [Lihat Fathul Baari 10/264].

Membawa Mutlak Kepada Muqoyyad

Ada juga sebagian manusia yang membantah bahwa nash-nash yang datang secara muthlak mengenai larangan isbal tersebut harus di muqoyyadkan pada lafaz “karena sombong”, dan mereka mengatakan bahwa membawa dalil mutlak kepada dalil muqoyyad itu wajib hukumnya. Kaidah tersebut memang benar, akan tetapi salah dalam penerapannya. Mari kita bawa ke kaidah ushul fiqh, dan sebelumnya saya bawakan 3 hadits berkenaan dengan syubhat tersebut.

(1) Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda,

“Barangsiapa yang menurunkan pakaiannya (dibawah mata kaki) karena sombong, niscaya Allah tidak akan memandang kepadanya (Hadits shahih dikeluarkan Bukhori 3665, 5784, Muslim 2085, Tirmidzi 1730, Ahmad 5337 dari hadits Ibnu Umar ).

(2) Dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau bersabda,

“Segala sesuatu yang turun melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits Shahih di keluarkan oleh Bukhori no. 5787, Nasa’i 5331, Ahmad 9618)

(3) Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda,

“Ada tiga (golongan manusia) yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat dan mereka tidak akan diperhatikan dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih ; orang yang melakukan isbal, tukang adu domba, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Muslim 106, Abu Dawud 4087 dari hadits Abu dzar rodhiallahu’anhu).

Syaikh Utsaimin menjelaskan ketiga hadits di atas :

Hadits 1 dan hadits 3 dapat dimuqoyyadkan karena hukumnya sama yaitu bahwa pelakunya tidak dipandang oleh Allah (pada hari kiamat), walaupun sebabnya berbeda, pada hadits 1 isbal dengan sombong dan pada hadits 3 hanya dikatakan pelaku isbal tanpa disertai lafaz sombong. Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab berbeda akan tetapi hukumnya sama maka bisa dimuqoyyadkan”. Jadi kita katakan bahwa isbal yang dimaksud pada hadits 3 tersebut adalah isbal dengan kesombongan (dikaitkan dengan hadits 1). Akan tetapi pada hadits 2 terdapat pengecualian karena hukumnya berbeda (diancam dengan neraka) maka kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab sama akan tetapi hukumnya berbeda” maka tidak bisa di muqoyyadkan, [Lihat Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Ustaimin, Darul Aqidah, hal. 109-110].

Dari kaidah tersebut dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya isbal itu jika dilakukan dengan maksud menyombongkan diri maka hukumannya adalah : pelakunya tidak dipandang oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah, dan tidak akan disucikan, serta baginya siksaan yang pedih. Adapun jika dilakukan tanpa bermaksud sombong, maka hukumannya adalah diazab apa yang turun melebihi mata kaki dengan api neraka. Dan banyak lagi hadits-hadits lain yang menguatkan keterangan ini. Apakah kita masih menganggap remeh permasalahan ini?

Melaksanakan sunnah Rasul ini sangat mudah dan tidak sulit. Kita TIDAK diwajibkan harus memakai jubah arab, gamis pakistan atau yang lainnya, akan tetapi pakaian seorang muslim itu disesuaikan dengan urf (adat istiadat dan budaya setempat) dengan syarat harus sesuai syari’at (seperti menutup aurat dan tidak isbal). Jika di negeri kita sudah umum memakai celana panjang, maka itulah urf masyarakat kita. Rasulullah memberi keringanan dalam masalah isbal, yaitu tidak boleh melewati kedua mata kaki (walaupun yang lebih utama adalah sebatas pertengahan betis) dan mudah sekali bagi kita untuk memotong sedikiiiit saja ujung celana kita agar tidak melewati kedua mata kaki, tentu tidak sulit bukan…?

Bagaimanakah Dengan Isbal Wanita ?

Seorang wanita pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pernah bertanya kepada Ummu Salamah rodhiallahu’anha, ‘Sesungguhnya aku memanjangkan ujung pakaianku sedangkan aku berjalan di tempat yang kotor’, maka Ummu Salamah menjawab ‘telah bersabda Rasulullah ‘dia akan dibersihkan oleh tanah yang berada sesudahnya’ (Hadits shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya).
Dalam perkara isbal, maka para wanita dibedakan dari para laki-laki sebab wanita membutuhkan untuk menutup auratnya (seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan). Sesuai dengan sabda Rasul “Wanita itu adalah aurat” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya).

Pakaian wanita tidak boleh melewati mata kakinya lebih dari satu siku, apabila pakaian wanita melewati mata kakinya lebih dari satu siku maka haram hukumnya bagi mereka. Ketentuan ini sesuai dengan hadits Ummu Salamah mengenai pertanyaan beliau kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam “Lalu bagaimana dengan kaum wanita yang berbuat terhadap ujung-ujung (pakaian) mereka ?, lalu Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda “Hendaklah mereka memanjangkannya satu jengkal”, Ummu Salamah berkata “Kalau begitu akan terlihat kaki-kaki mereka”, Rasulullah menjawab “panjangkanlah satu siku, dan jangan lebih dari itu”, (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Penutup

Bahkan ketika dalil demi dalil dikeluarkan satu persatu, ternyata masih ada juga yang menolak perkara haramnya melakukan isbal. Diantaranya menyatakan bahwa “dalam Al-Qur’an gak ada dalilnya tuh!”, padahal Rasulullah sudah menyatakan yang kira-kira arti secara maknanya adalah “kepada saya diturunkan Al-Qur’an dan yang semisal dengannya (Hadits/Sunnah –pen)”, maka apakah kita masih mencari-cari dalih untuk menolak apa-apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya?

Hak-hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg hrs dipenuhi oleh umat Islam ialah taat kpdnya, menjauhkan semua larangan dan beribadah kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn mengikuti (ittiba’) yg dicontohkannya. Karena beliau diutus untuk ditaati dan diteladani.

“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayg. [Ali Imran : 31]

“Sesungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yg baik bagimu (yaitu) bagi orang yg mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [Al-Ahzab : 21]

Semoga dengan risalah ringkas ini semakin memantapkan kita dalam mengamalkan apa-apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mengagungkannya serta tidak menganggap remeh suatu perkara agama. Hanya kepada Allah kita meminta petunjuk… Wallahu a'lam,

salam_sitijamilahamdi


Referensi :

(1) Al-isbal Liqhoiri Al khuyalaa’, Walid bin Muhammad Nabih
(2) Isbaal ats Tsiyaab Baina Al I’jaab Wa Al I’qoob, Abdullah bin ‘Abdul Hamid
(3) Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir
(4) Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Ustai

La-isbal


Wanita Dalam Islam.... (peran dan kedudukannya ^v*v^)

Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)

Wanita di Masa Jahiliyah

Wanita di masa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulia sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan apabila seorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59)

Islam Menjunjung Martabat Wanita

Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33). Lebih dari itu Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)

Ambisi Musuh-Musuh Islam untuk Merampas Kehormatan Wanita

Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam. Dikesankan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa moderen dewasa ini.

Ketahuilah wahai muslimah! Suara-suara sumbang yang penuh kamuflase dari musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala itu merupakan kepanjangan lidah dari syaithan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari jannah, ia menanggalkan dari kedua pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al A’raf: 27)

Peran Wanita dalam Rumah Tangga

Telah termaktub dalam Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)

Maha benar Allah subhanahu wata’ala dalam segala firman-Nya, posisi wanita sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setipa orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkta: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:

Pertama: perbaikan secara dhahir, di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir. Ini didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di depan umum.

Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan yang di rumah-rumah, secara umum hal ini merupakan tanggung jawab kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya. Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa-dosa kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33)

Kami yakin setelah ini, tidaklah salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritas tergantung kepada wanita dikarenakan dua sebab:

1. Kaum wanita jumlahnya sama dengan kaum laki-laki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagamana hal ini ditunjukkan oleh As Sunnah An Nabawiyah. Akan tetapi hal itu tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu jaman dengan jaman lain. Terkadang di suatu negeri jumlah kaum wanita lebih dominan dari pada jumlah lelaki atau sebaliknya… Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki masyarakat.

2. Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dibawah asuhan wanita. Atas dasar ini sangat jelaslah bahwa tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat. (Daurul Mar’ah Fi Ishlahil Mujtama’)

Pekerjaan Wanita di dalam Rumah

Beberapa pekerjaan wanita yang bisa dilakukan di dalam rumah:

1. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.


Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)

2. Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan/keharmonisan) bagi suami.

Namun tidak akan terwujud kecuali ia melakukan beberapa hal berikut ini:

- Taat sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)

- Menjaga rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan ia sendiri disaat suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.

- Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:

خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ : أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ

“Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)

- Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni rumah.

3. Mendidik anak yang merupakan salah satu tugas yang termulia untuk mempersiapkan sebuah generasi yang handal dan diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala.



Adab Keluar Rumah


Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Mengetahui tentang maslahat (kebaikan) hambanya di dunia maupun diakhirat yaitu kewajiban wanita untuk tetap tinggal di rumah. Namun bila ada kepentingan, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)

Namun juga ingat petuah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya:

“Wanita itu adalah aurat maka bila ia keluar rumah syaithan menyambutnya.” (HR. At Tirmidzi, shahih lihat Al Irwa’ no. 273 dan Shahihul Musnad 2/36)

Sehingga wajib baginya ketika hendak keluar harus memperhatikan adab yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu:

a. Memakai jilbab yang syar’i sebagaimana dalam surat Al Ahzab: 59.
b. Atas izin dari suaminya, bila ia sudah menikah.
c. Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. (HR. Muslim no. 1341)
d. Menundukkan pandangan. (An Nur: 31)
e. Berbicara dengan wajar tanpa mendayu-dayu (melembut-lembutkan). (Al Ahzab: 32)
f. Tidak boleh melenggak lenggok ketika berjalan.
g. Hindari memakai wewangian. (Al Jami’ush Shahih: 4/311)
h. Tidak boleh menghentakkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya. (An Nur: 31)
i. Tidak boleh ikhtilath (campur baur) antara lawan jenis. (Lihat Shahih Al Bukhari no. 870)
j. Tidak boleh khalwat (menyepi dengan pria lain yang bukan mahram) (Lihat Shahih Muslim 2/978).

Hukum Wanita Kerja di Luar Rumah


Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)

Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)

Bila kaum wanita tidak ada lagi yang mencukupi dan mencarikan nafkah, boleh baginya keluar rumah untuk bekerja, tentunya ia harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga iffah (kemulian dan kesucian) harga dirinya.

Wanita adalah Sumber Segala Fitnah


Bila wanita sudah keluar batas dari kodratnya karena melanggar hukum-hukum Allah subhanahu wata’ala. Keluar dari rumah bertamengkan slogan bekerja, belajar, dan berkarya. Meski mengharuskan terjadinya khalwat (campur baur dengan laki-laki tanpa hijab), membuka auratnya (tanpa berjilbab), tabarruj (berpenampilan ala jahiliyah), dan mengharuskan komunikasi antar pria dan wanita dengan sebebas-bebasnya. Itulah pertanda api fitnah telah menyala.

Bila fitnah wanita telah menyala, ia merupakan inti dari tersebarnya segala fitnah-fitnah yang lainnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk condong kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak … .” (Ali Imran: 14).

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sesunggunya fitnah wanita merupakan fitnah yang terbesar dari selainnya …, karena Allah menjadikan para wanita itu sebagai sumber segala syahwat. Dan Allah meletakkan para wanita (dalam bagian syahwat) pada point pertama (dalam ayat di atas) sebelum yang lainnya, mengisyaratkan bahwa asal dari segala syahwat adalah wanita.” (Nashihati Linnisaa’i: 114)

Bila fitnah wanita itu telah menjalar, maka tiada yang bisa membendung arus kebobrokan dan kerusakan moral manusia. Fenomena negara barat atau negara-negara lainnya yang menyuarakan emansipasi wanita, sebagai bukti kongkrit hasil dari perjuangan mereka yaitu pornoaksi dan pornografi bukan hal yang tabu bahkan malah membudaya, foto-foto telanjang dan menggoda lebih menarik daya beli dan mendongkrak pangsa pasar. Tak lebih harga diri wanita itu seperti budak pemuas syahwat lelaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضْرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَ اتَّقُوا النِّسَاءَ فَإنَّ أَوَّلِ فِتْنَةِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan kalian berketurunan di atasnya. Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim)

Setelah mengetahui hak dan tanggung jawab wanita sedemikian rupa, rapi dan serasi yang diatur oleh Islam, apakah bisa dikatakan sebagai wanita pengangguran atau kuno? sebaliknya, silahkan lihat kenyataan kini dari para wanita karier dibalik label emansipasi atau slogan “Mari maju menyambut modernisasi?” Renungkanlah wahai kaum wanita, bagaimana kedaan suami dan anak-anak kalian setelah kalian tinggalkan tanggung jawab sebagai istri penyejuk hati suami dan penyayang anak-anak?!!!!

Hadits-Hadits Dho’if (Lemah) atau Palsu yang Tersebar di Kalangan Ummat

اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَ لَوْ بِالصِّيْنِ

“Tuntutlah Ilmu walau sampai ke negeri Cina.”

Keterangan:

Hadits ini adalah bathil, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy, Abu Nu’aim, Al Khotib, Al Baihaqi, dan selain mereka. Hadits ini dikritik oleh para ulama seperti Al Imam Al Bukhori, Ahmad, An Nasa’i, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Khotib, dan selain dari mereka. Karena didalam perawi-perawi hadits ini lemah (dho’if). (Lihat Adh Dhoi’fah No.416)
wallahu a'lam
salam_sitijamilahamdi



Ruhul jihad yang membara di setiap dada para mujahid. Mereka hanya mendambakan upah dari Rabbnya. Surga. Di pelupuk mata para mujahid itu terbayang indahnya janji Allah Azza Wa Jalla, yang sangat menyenangkan. Mereka berlomba mendapatkannya. Siang malam para mujahid berperang melawan orang-orang kafir, tanpa henti-henti. Mereka berlomba menyosong datangya kematian, yang akan membawanya kepada kemuliaan di sisi-Nya.

Akhirnya, daratan Eropa dikenal dengan ‘Balad Syuhada’ (tanah bagi para syuhada), karena banyaknya para mujahid yang syahid di daratan itu. Para mujahid yang gagah dan berani, serta ikhlas, mereka mendambakan janji dari Rabbnya, terus maju, memasuki jantung Eropa, itulah sekelumit kisah para Tabi'in, yang ditulis oleh Abdurrahman Rafat Basya.

Semangat jihad yang belum pernah dalam sejarah penaklukan. Kecuali saat itu. Hampir seluruh daratan Eropa menjadi miliki umat Islam. Karena kecermalangan para pemimpinnya, dan ketangguhan para mujahid, yang berperang dengan pasukan Eropa. Mereka memenangkannya. Spanyol dan Perancis telah takluk. Perjuangan mereka terus memasuki daratan Eropa, hingga menjelang Jerman.

Kemenangan pasukan Islam, saat Bani Umayyah dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Usai pemakaman pamannya Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, dan Umar usai pula membersihkan tangannya dari tanah-tanah, Khalifah yang baru itu, mengganti sejumlah gubernur. Diantara pejabat baru yang dilantik itu, As-Samah bin Malik al-Khaulani yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia, yang sekarang adalah Spanyol, dan beberapa wilayah Perancis.

As-Samah bin Malik al-Khaulani bercita-cita menggambungkan daratan Andalusia (Spanyol) dengan Perancis. Maka, langkah pertama yang dilakukannya menaklukan Norbone, yang dekat dengan Spanyol. Pasukan Islam yang dipimpin Al-Khaulani itu menyisir pegunungan Pyrenees menuju kota Norbonne. Kota ini menjadi kunci untuk memasuki kota-kota Perancis lainnya.

Seperti biasanya pasukan Islam sebelum menaklukan kota itu, memberikan pilihan kepada penduduk, mereka memeluk Islam atau membayar jizyah. Tetapi mereka menolak untuk memeluk Islam dan membayar jizyah. Karena mereka menolak, perang tak dapat dielakkannya, dan kota itu dikepung selama empat pekan, dan akhirnya menyerah, sesudah terjadi pertempuran yang sangat dahsyat yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah Eropa.

Sasaran berikutnya adalah Toulouse, yang menjadi ibukota Octania. Pasukan Islam yang sudah berada di dekat wilayah itu, masuk dengan menggunakan senjata yang belum pernah mereke kenal, dan hampir kota jatuh ke tangan muslimin, tetapi terjadi peristiwa yang menghambat kemenangan.

Tatkala itu, Raja Octania yang mengunjungi para raja-raja di seluruh Eropa, mengajak mereka bergabung menghadapi pasukan Islam, yang dipimpin Al-Khaulani, yang sudah berada diambang pintu, dan mengancam Octania. Berkumpullah pasukan Salib yang berjumlah sangat besar. Untuk mengambarkan itu, sampai seorang sejarawan mengatakan, betapa gemuruh pasukan Salib itu, hingga debu-debu yang mengepul menutupi kota Rhone, siang yang terang oleh matahari itu, menjadi gelap akibat debu, dari kaki-kaki pasukan Raja Octania.

Perang yang tak terelakkan. Gemuruh perang begitu dahsyat. Dua pasukan bertemu, dan As-Samah bin Malik Al-Khaulani selalu berada di garis depan. Pada pertempuran yang sangat dahsyat itu, As-Samah terkena panah, dan robohnya panglima tertinggi yang perkasa itu, dan menemui syahidnya.

Saat terdengar panglimanya As-Samah gugur, pauskan Islam menjadi kocar-kacir, di saat itu pula, tampil, seorang generasi tabi’in, yang ada, mengambil alih kepeimpian dari As-Samah, yang tangguh dan disegani bernama Abdurrahman al-Ghafiqi. Dengan lahirnya panglima perang yang baru itu, berhasil di selamatkan pasukan Islam, yang mengalami kepanikan itu. Mereka yang tercerai-berai.

Abdurrahman Al-Ghafiqi itu mempunyai cita-cita yang sama dengan tokh-tokoh Islam lainnya, seperti Musa bin Nushair hingga As-Samah bin Malik Al-Khaulani, yang ingin menaklukkan Spanyol, Perancis, Italia, Jerman, hingga Konstantinopel. Dan, Abdurrahman yakin akan dapat mewujudkan impiannya itu.

Suatu senja Abdurrahman Al-Ghafiqi mengundang seorang dzimmi keturunan Perancis yang terikat dengan perjanjian. Lalu, Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian, Carll tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan kami?”, tanya Al-Ghafiqi. “Wahai gubernur, anda telah menepati janji kami. Anda berhak kami percayai”, ucap seorang dzimmi itu.

Musa bin Nushair telah berhasil menaklukkan Spanyol. Kemudian ingin melanjutkan perluasan wilayahnya sampai menjangkau Perancis, melewati Pyerennes. Perjuangan itu berlanjut, yang akan menentukan masa depan Islam di daratan Eropa.



Sebuah dialog raja-raja kecil dengan Maha Raja, yang mempunyai pengaruh di daratan Eropa, dan dia berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara mendalam dan saya mengira untuk saat ini tidak perlu menghadapi mereka secara langsung.Mereka orang-orang yang bermental baja. Mereka kaum yang memiliki aqidah yang kokoh, sehingga tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka mempunyai iman dan kejujuran yangjauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang atau kuda. Karena itu, lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk harta dan ghanimah, lalu membangun rumah dan gedung –gedung serta melipatgandakan jumlah budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka akan berebut kekuasaan. Pada saat itu itu kita bisa menaklukan mereka dengan mudah tanpa banyak pengorbanan”, ucap Maha Raja itu.

Mendengar dialog itu, Abdurrahman Al-Ghafiqi sangat terkejut. Betapa, beliau sudah mengelilingi kota-kota dan desa-desa di wilayah Andalusia, dan mendidik mereka dengan iman, tetapi Maha Raja itu, masih dapat mengatakan akan mengalahkannya, hanya akibat umat Islam terlena oleh banyaknya ghanimah.

Tetapi, sejarah menyatakan, dan inilahnya pahitnya kehidupan, yang tak dapat ditolak oleh siapapun, perjalanan kehidupan kaum muslimin selalu ada orang-orang yang terlena oleh kehidupan dunia. Ini terjadi yang tidak dapat dipungkiri. Seandainya bukan harta dan kehidupan duniawi, daratan Eropa sudah menjadi negeri-negeri muslim.

Pengkhianatan itu, pertama terjadi oleh Utsman bin Abi Nus’ah, amir penjaga perbatasan yang dipercaya oleh panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi. Padahal, ia dipercaya untuk memimpin pasukan inti diperbatasan untuk menghadapi musuh. Tetapi, pilihan Abdurrahman itu keliru, dan orang yang dipercaya itu, berkhianat, dan karena ambisinya itu, dan lalu menculik puteri Raja Octania, yang bernama Minnin. Minnin terkenal sangat jelita, berdarah bangsawan, masih belia, dan seba g ai penghuni istana. Puteri Minnin inilah yang membuat Utsman bin Abi Nus’ah tergila-gila.

Utsman bin Abi Nus’ah yang dipercaya oleh Abdurrahman Al-Ghafiqi , akibat sudah tergila-gila dengan kecantikan puteri Minnin, kemudian ia membuat perjanjian perdamaian dengan Raja Octania. Dan, Utsman memberi jaminan keamanan kepada Raja Octania.

Begitulah, ketika datang perntah untuk menyerbu wilayah Octania, maka Utsman bin Abi Nus’ah menjad bimbang untuk melaksanakannya. Kabar yang sampai ke telinga Abdurrahman Al-Ghafiqi menjadi sangat marah, akibat pengkhiatan yang dilakukan oleh Utsman. “Perjanjian yang anda lakukan yang anda lakukan tidak sah, maka tidak ada keharusan prajurit Islam mentaatinya”, ujar Abdurrahman.

Selanjutnya, panglima perang Islam, itu mengirimkan pasukan untuk menangkap pengkhianat Utsman bin Abi Nus’ah. Pasukan yang diutus itu berhasil menaklukan dengan pertempuran diatas gunung, dan Utsman bin Nus’ah dengan berbagai tusukan pedang. Sedangkan Minnin, puteri Raja Octania itu tertangkap, kemudian di kirim ke Damaskus. Saat melihat puteri Minnin itu, Abdurrahman Al-Ghafiqi memalingkan wajahnya, karena puteri itu terlalu cantik.

Perang terus berkecamuk memperebutkan wilayah Perancis, yang luas, dan pasukan berhasil menguasai kota-kota penting. Raja Octania yang lolos itu, kembali berperang dengan jumlah pasukan yang lebih besar. Kemenangan oleh pasukan Islam, memasuki wilayah Perancis, seperti Lyon, Boerdeaux, yang merupakan pintu masuk yang sangat penting mengausai Perancis, dan hanya seratus mil lagi masuk kota Paris. Dunia Eropa sangat tersentak melihat Perancis selatan telah dikuasai pasukan Islam yang dipimpin Abdurrahman al-Ghafiqi.

Ghanimah begitu melimpah. Bangunan tenda-tenda yang besar- besar sudah tidak dapat menampung lagi ghanimah dari haisl peperangan itu. Tetapi, panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi terus bertempur dengan gagah berani, menyapu pasukan Salib, yang ingin mencoba mengahalanginya. Dan, akhirnya kota Tours, kota Perancis yang sangat indah, penuh dengan bangunan tua yang sangat indah dan menyimpan berbagai benda yang berharga.

Ketika itu, saat bulan Sya’ban 104 Hijriyah Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama paskan yang perkasa memasuki kota Poiters. Mereka disambut oleh pasukan besar Eroa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang yang amat dahsyat antara kedua belah pihak, yang kemudian dikenal dengan : Balad Syuhada’. Karena banyaknya para syuhada yang gugur dimedan perang ini.

Saat inilah pasukan Islam mulai terpecah konsentrasinya, apalagi Karl Martel menyiasati dengan melalui belakang menyerang tempat-tempat penyimpanan ghonimah, tenda-tenda yang ada di tempat padang yang sangat luas itu dibakar oleh pasukan Karel Martel.

Sungguh sangat getir, ketika itu pasukan Islam dalam puncak kejayaannya, punggung-punggung pasukan Islam sudah terlalu berat dengan beban ghanimah, yang memberatkan gerak langkah mereka. Mereka tergoda dengan ghanimah, yang menyebabkan melupakan tujuan mereka yang ingin mendapatkan kejajaan Islam, dan kemuliaan di sisi-Nya. Di saat itu pula, tiba-tiba panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi tewas terkena panah.

Inilah menandakan akhir dari satu episode perjuangan yang penuh dengan kemenangan, akhirnya harus kandas, karena godaan duniawi. Andai kata mereka tidak te rgoda oleh duniawi, mungkin sekarang seluruh daratan Eropa sudah menjadi milik kaum muslimin, sehingga pemeluknya bebas melaksanakan syariah-Nya. Tapi, Allah memberikan ujian kepada kaum muslimin, dan gagal, menghadapi ujian itu.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). [QS. Ali Imran (3) : 14]

Wallahu’alam.


salam_sitijamilahamdi



Kunci-Kunci Rizqi Berdasarkan Al Qur'an dan As-Sunnah

Sementara itu, berkenaan dengan rizki, jodoh, amal serta kebahagiaan, manusia hanya diberi kesempatan untuk menentukan pilihan dan berikhtiyar untuk mengusahakan sebab agar terpenuhinya segala pi-lihannya. Sedangkan hasil, kembalinya tetap kepada takdir Alloh Subhanahu wa Ta’laa. Manusia tidak akan bisa memastikan akan hidup selamanya walaupun dia berusaha semaksimal mungkin untuk memperpanjang usianya. Manusia tidak akan bisa menjamin akan miskin dan sengsara selamanya, kalau Alloh Subhanahu wa Ta’laa mentakdirkan dia menjadi kaya atau bahagia di waktu tertentu, begitu pula sebaliknya.


Hakikat rizki

Rizki atau sering juga disebut rezeki, berasal dari kata rozaqo – yarzuku – rizqon, yang bermakna “memberi / pemberian”. Sehingga makna dari rizki adalah segala sesuatu yang dikaruniakan Alloh Subhanahu wa Ta’laa kepada hamba-hamba-Nya dan dimanfaatkan oleh hamba tersebut.

Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa yang termasuk dalam ketagori rizki, tidak terbatas hanya pada besar kecilnya gaji dan pendapatan atau banyak tidaknya harta maupun uang yang tersimpan. Tetapi makna rizki lebih luas daripada itu. Kesehatan tubuh dan jiwa, udara yang kita hirup, air hujan yang turun, keluarga yang menyenangkan, kepandaian, terhindarnya dari kecelakaan atau musibah, dan lain sebagainya adalah bagian dari rizki Alloh Subhanahu wa Ta’laa.

Termasuk juga turunnya hidayah Islam pada diri seorang hamba, pemahaman akan ilmu agama, terbukanya pintu-pintu amal sholih dan bahkan khusnul khotimah dan mati syahid juga merupakan bagian dari rizki yang tiada tara. Dan masih banyak lagi karunia Alloh Subhanahu wa Ta’laa yang sangat luar biasa, yang di-karuniakan kepada hamba-hamba-Nya dan tidak mungkin terhitung.

Setelah kita memahami makna dari rizki, tentu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur kepada Ar Roziq (Maha Pemberi Rizki). Semua makhluk pasti mendapatkan rizkinya. Entah dia manusia yang beriman atau kafir, kelompok jin yang taat atau jin syetan, semua binatang, para malaikat, tumbuhan dan semua makhluk-Nya yang Dia ciptakan. Hal ini menunjukkan asma dan sifat-Nya Ar Rohman (Maha Pengasih).

Rizki Alloh Subhanahu wa Ta’laa pasti terus mengalir. Tidak ada satu makhlukpun yang sanggup menghalangi berjalannya rizki pada seseorang bila, Alloh Subhanahu wa Ta’laa menghendaki itu terjadi pada seseorang. Begitu pula sebaliknya, tidak ada satu makhlukpun yang sanggup memberikan rizki pada seseorang, bila Alloh Subhanahu wa Ta’laa menghendaki hal itu tidak terjadi padanya. Kepastian datangnya rizki di dunia, seiring kepastian nyawa hadir pada diri seorang makhluk. Atau kata lainnya, tanda rizki dunia seseorang itu habis adalah hadirnya kematian padanya.

Bila rizki sudah tetap, lalu kenapa dibutuhkan kunci-kunci rizki?

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :

…ثمُ َّيُرْسَلُ إلِيَهِْ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَات : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ …
“…Kemudian diutuslah malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal : menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan apakah ia celaka atau bahagia…”
(HR. Bukhori dan Muslim)

Memang ada empat perkara ketetapan Alloh Subhanahu wa Ta’laa yang terjadi pada diri manusia, dimana tidak ada satu manusiapun yang bisa merubah hal itu, yaitu rizki, ajal, amal dan celaka dimana manusia tidak ada yang bisa untuk memahaminya kecuali atas izin Alloh Subhanahu wa Ta’laa. Empat perkara di atas adalah permasalahan ghoib yang tidak ada makhluk yang mengetahuinya selain Alloh Subhanahu wa Ta’laa.

Sementara itu, berkenaan dengan rizki, jodoh, amal serta kebahagiaan, manusia hanya diberi kesempatan untuk menentukan pilihan dan berikhtiyar untuk mengusahakan sebab agar terpenuhinya segala pi-lihannya. Sedangkan hasil, kembalinya tetap kepada takdir Alloh Subhanahu wa Ta’laa. Manusia tidak akan bisa memastikan akan hidup selamanya walaupun dia berusaha semaksimal mungkin untuk memperpanjang usianya. Manusia tidak akan bisa menjamin akan miskin dan sengsara selamanya, kalau Alloh Subhanahu wa Ta’laa mentakdirkan dia menjadi kaya atau bahagia di waktu tertentu, begitu pula sebaliknya.

Segala bentuk usaha / ikhtiyar yang dilakukan manusia di dalam meraih pilihannya, dinilai sebagai ibadah bila dilaksanakan karena Alloh Subhanahu wa Ta’laa dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ajaran Islam. Walaupun terkadang hasil yang dia capai dari ikhtiyarnya tersebut tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tapi yang harus ada pada hati setiap muslim, adalah sikap husnudzon (prasangka baik) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa. Apa yang Dia pilihkan untuk makhluknya, adalah yang terbaik bagi makhluk tersebut. Alloh Subhanahu wa Ta’laa tidak mungkin salah dalam memberikan suatu ketetapan.

Banyak hikmah yang diambil dari ditentukannya kunci-kunci rizki :

-Akan lebih melapangkan jalan rizki, yang sebelumnya terasa sempit.
-Seandainya secara lahir, jalan rizki belum lapang, bisa jadi dengan kunci-kunci rizki yang diusahakan, akan menambah sikap qonaah (menerima segala takdir Alloh Subhanahu wa Ta’laa) di hati.
-Dengan kunci-kunci rizki, maka akan menambah barokah rizki yang didapat manusia, walupun menurut ukuran lahir, rizki tersebut sangat sedikit.
-Bila di dunia ini belum terkabulkan apa yang kita usahakan akan atau kebahagiaan. Tetapi wajib difahami juga, bahwa empat hal di atas adalah meliputi ilmu Alloh Subhanahu wa Ta’laa berkenaan dengan kunci-kunci rizki, maka bisa jadi Alloh Subhanahu wa Ta’laa akan menggantinya di akhirat kelak.
-Dengan mengusahakan kunci-kunci rizki seperti yang disyariatkan Alloh Subhanahu wa Ta’laa, maka bertambah pula amal sholih kita.
-Dan fadhilah-fadhilah lain yang Alloh Subhanahu wa Ta’laa janjikan pada umat-Nya yang selalu beramal sholih.

Diantara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki (yang bersifat materi dan kemapanan duniawi). Sejumlah besar umat Islam memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka. Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syari’at tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian hukum Islam. Na’udzu billahi min dzalik.

Kunci – Kunci Rizki

1. Istighfar dan Taubat


Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Maka aku katakan kepada mereka,”Mohonlah ampun kepada Robb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan yang lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan me-ngadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
(QS. Nuh : 10-12).

Ibnu Katsir berkata,”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Alloh, meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa menta’ati-Nya, niscaya Dia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan untuk kalian, membanyakkan anak dan melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di da-lamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta menga-lirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4 / 449)

Sebagian umat Islam menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata, dengan hanya memperbanyak kalimat, “Astaghfirullohal ‘adzim”. Tetapi kalimat itu tidak membe-kas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat ini adalah taubatnya orang yang dusta.

Imam An Nawawi menjelaskan,”Para ulama berkata,”Bertaubat dari segala dosa adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dengan Alloh, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga, -pertama, hendaknya ia menjauhi dosa (maksiat) itu, -dua, ia harus menyesali perbuatan dosa itu, -tiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang maka taubatnya tidak sah. Jika taubat itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan -ke empat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa (had) hukuman tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalas-nya atau meminta maaf padanya. Jika berupa ghibah (menggunjing) maka ia harus meminta maaf.”
(Riyadush Sholihin).

2. Taqwa

Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Barangsiapa bertaqwa kepada Alloh, niscaya Dia akan mengada-kan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Tholaq : 2-3 )
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata,”Maknanya, barangsiapa bertaqwa kepada Alloh dengan melakukan apa yang diperinyahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Alloh akan memberi-nya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ath Tholaq : 2-3).

Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar Roghib Al Ashfahani berkata,”Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan.”
(Al Mufrodat fie Ghoribil Qur’an)

Orang yang melihat dengan kedua bola matanya apa yang diharam-kan Alloh, atau mendengarnya dengan kedua telinganya apa yang di-murkai Alloh Subhanahu wa Ta’laa, atau mengambilnya dengan kedua tangannya apa yang tidak diridloi Alloh Subhanahu wa Ta’laa, atau berjalan ke tempat yang di kutuk Alloh Subhanahu wa Ta’laa, berarti ia tidak menjaga dirinya dari dosa.

Jadi, orang yang membangkang perintah Alloh Subhanahu wa Ta’laa serta melakukan apa yang dilarang-Nya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat, sehingga ia pantas mendapat murka Alloh Subhanahu wa Ta’laa, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.

3. Tawakkal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa

Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Alloh, niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Alloh telah menga-dakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS. Ath Tholaq : 3) Menafsirkan ayat tersebut, Ar Robi’ bin Khutsaim berkata,”(mencu-kupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia.”
(Syarhus Sunnah, 14 / 298)

Menjelaskan makna tawakkal para ulama berkata, diantaranya Imam Ghozali, Beliau berkata,”Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada “WAAKIL” (yang ditawakkali) semata.”
(Ihya’ Ulumuddin, 4 / 259)

Al Allamah Al Manawi berkata,”Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali.”
(Faidhul Qodir, 5 / 311)

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكَّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)

Sebagian manusia ada yang berkata,”Jika orang yangbertawakkal kepada Alloh itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit.”

Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya tentang hakekat tawakkal. Imam Ahmad berkata,”Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal pada Alloh dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengeta-hui bahwa kebaikan (rizki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”
(Tuhfatul Ahwadzi, 7 / 8)

Imam ahmad menambahkan,”Para shahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan merekalah teladan kita.”
(Fathul Bari, 11 / 305-306)

4. Beridah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa sepenuhnya

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :

إِنَّ اللهَ تَعَلىَ يَقُولُ : يَاابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَدَتِى أَمَْـَلأُصَدْرَكَ غِنىً, وَأَسُدُّ فَقْرَكَ. وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَكَ شُغْلاً, وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
“Sesungguhnya Alloh Ta’laa berfirman,”Wahai anak Adam. Beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku ! Niscaya Aku penuhi di dalam dada dengan kekayaan dan aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak aku penuhi kebutuhanmu.” (HR. Ibnu Majah)

Al Mulla Ali Al Qori menjelaskan makna hadits -تَفَرَّغْ لِعِبَدَتِى – “beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku.”, Beliau berkata,”Makna-nya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (konsentrasi) untuk beribadah kepada Robb-mu.” (Murqotul Mafatih, 9 / 26)

Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimaksud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu’ dan merendahkan diri dihadapan Alloh Maha Esa. Menghadirkan hati, betapa besar keagungan Alloh Subhanahu wa Ta’laa.

5. Melajutkan Haji dengan Umroh atau sebaliknya

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وِالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Lanjutkanlah haji dengan umroh atau sebaliknya. Karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat mengilangkan kotoran besi.”
(HR. An Nasa’i)

Syaikh Abul Hasan As Sindi menjelaskan haji dengan umroh atau sebaliknya, berkata,”Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, dimana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka tunaikanlah umroh. Dan jika kalian menunaikan umroh maka tunaikanlah haji, sebab keduanya saling mengikuti.”
(Hasyiyatul Imam As Sindi ‘ala Sunan An Nasa’i, 5 / 115)

Sedangkan Imam Ath Thoyyibi dalam menjelaskan sabda Nabi r:
فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ
“…Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa…”
“Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta.”
(Faidhul Qodir, 3 / 225)

6. Silaturrahim

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُسْطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (diperpanjang usianya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahmi.” (HR. Bukhori)

Makna “ar rahim” adalah para kerabat dekat. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,”Ar rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahrom atau tidak. Menurut pendapat lain, mereka adalah “maharim” (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja. Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian.”
(Fathul Bari, 10 / 14)

Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qori adalah kinayah (ungkapan / sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka. (Murqotul Mafatih, 8 / 645)

7. Berinfaq di Jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa

Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Alloh akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.”
(QS. Saba’ : 39)

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas,”Betapapun sedikit apa yang kamu infaqkan dari apa yang diperintahkan Alloh kepadamudan apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3 / 595)

Syaikh Ibnu Asyur berkata,”Yang dimaksud dengan infaq di sini adalah infaq yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfaq kepada orang-orang fakir dan berinfaq di jalan Alloh untuk menolong agama.” (Tafsirut Tahrir wa Tanwir, 22 / 221)

8. Memberi Nafkah kepada Orang yang Sepenuhnya Menuntut Ilmu Syari’at (Agama)

كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولُ اللهِ r,فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِى النَّبِي r, وَاْلآخِرُ يَحْتَرِفُ, فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِى , فَقَالَ r: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
“Dahulu ada dua orang bersaudara pada masa Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam . Salah seorang dari mereka mendatangi Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam (untuk menuntut ilmu) dan (saudaranya) yang lain pergi bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu pada Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam . Maka Beliau Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda,”Mudah-mudahan engkau diberi rizki karena sebab dia” (HR. Tirmidzi)

Al Mulla Ali Al Qori menjelaskan sabda Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam :
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”…Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia”
“Yang menggunakan shighot majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata, yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebe-narnya diberi rizki karena berkahnya. Dan bukan berarti dia(si penuntut ilmu) diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaanmu kepadanya.”
(Murqotul Mafatih, 9 / 171)

9. Berbuat Baik pada Orang yang Lemah

Mush’ab bin Sa’d Rodliallohu ‘anhu berkata : “Bahwasanya Sa’d Rodliallohu ‘anhu merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain, maka Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ بِضُعَفَا ئِكُمْ
“Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang yang lemah diantara kalian ?” (HR. Bukhori)

Karena itu, siapa yang ingin ditolong Alloh dan diberi rizki oleh-Nya maka hendaklah ia memuliakan orang-orang yang lemah dan berbuat baik kepada mereka.”
(Shohihul Bukhori)

10. Hijrah di Jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa

Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Barangsiapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.”
(QS. An Nisa : 100)

Qotadah berkata,”Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk, dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan.”
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)

Imam Al Qurthubi berkata,”Sebab, keluasan negeri dan banyaknya bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kela-pangan dada yang siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain yang menunjukkan kemudahan.”
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)

Imam Ar Roghib Al Ashfahani berkata bahwa hijrah adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri yang iman, sebagaimana para shahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Sayid Muhammad Rosyid Ridlo mengatakan bahwa hijrah di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa harus dengan sebenar-benarnya. Artinya, maksud orang yang berhijrah dari negerinya itu adalah untuk mendapatkan ridho Alloh Subhanahu wa Ta’laa dengan menegakkan agam-Nya yang ia merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Alloh Subhanahu wa Ta’laa, juga untuk menolong saudara-saudaranya yang beriman dari permusuhan orang-orang kafir.
Wallohu A’lam bish Sowwab
salam_sitijamilahamdi

Dinukil dari Mafathiihur Rizq fii Dhau’il – DR. Fadhl Ila



Wahai Saudaraku, Imanilah bahwa Jin itu Ada... (**VVV**)

Allah Ta’ala berfirman di dalam surat Adz-Dzariyat ayat ke-56 yang artinya, “Tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”. Perhatikanlah bahwasanya di dalam ayat tersebut Allah menciptakan dua makhluk yang sama-sama ditugaskan untuk menyembahNya. Jin diciptakan berdampingan dengan kita, hanya saja Allah telah memisahkan alamnya dengan alam kita. Dan hanya Allah Dzat yang tahu akan perkara yang ghaib.”


Sungguh aneh, seseorang yang belum pernah belajar bahasa Arab atau bahkan tidak mengenal bahasa Arab, tiba-tiba saja pandai berbicara dengan bahasa Arab. Dan tidak jauh berbeda, seorang yang berdomisili di Jawa Barat dan kurang begitu paham dengan bahasa Jawa, tiba-tiba dengan lembut berbicara bahasa Jawa Krama Inggil dengan begitu fasihnya. Demikianlah salah satu fenomena yang pernah kita jumpai di masyarakat kita. Mengapa hal itu bisa terjadi? Dan ada apa dibalik semua itu?

Akankah kita menganggap bahwa hal itu hanyalah halusinasi semata karena pikiran orang tersebut sedang kosong, sehingga hal tersebut tidak perlu dihiraukan? Dengan kata lain, sebagian orang menganggap bahwa ini adalah salah satu gejala psikologis. Ataukah kita menganggap bahwa dia kerasukan setan sehingga harus dibawa ke dukun, orang pintar atau semacamnya agar dibebaskan dari belenggu setan? Na’udzubillahi min dzalik. Kita berlindung dari menjawab dengan kedua anggapan di atas, karena jika kita menganggap bahwa fenomena di atas hanyalah gejala psikologis semata yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan gangguan-gangguan spiritualitas seseorang, maka sungguh bisa jadi kita mendustakan keberadaan makhluk yang telah Allah ciptakan, yaitu jin. Padahal sudah sangat jelas adanya dalil tentang keberadaan makhluk ciptaan Allah yaitu jin, serta adanya dalil yang menunjukkan bahwasanya seseorang itu bisa kerasukan jin.

Allah Ta’ala berfirman di dalam surat Adz-Dzariyat ayat ke-56 yang artinya, “Tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”. Perhatikanlah bahwasanya di dalam ayat tersebut Allah menciptakan dua makhluk yang sama-sama ditugaskan untuk menyembahNya. Jin diciptakan berdampingan dengan kita, hanya saja Allah telah memisahkan alamnya dengan alam kita. Dan hanya Allah Dzat yang tahu akan perkara yang ghaib.”

Wahai orang-orang yang menganggap bahwasanya kesurupan jin adalah sesuatu yang mustahil ! Ketahuilah bahwa kebenaran adanya fenomena kesurupan jin bukanlah sekedar imajinasi, halusinasi, khurafat, tahayul atau apalah namanya. Namun hal itu adalah peristiwa nyata yang didukung oleh banyak dalil dari Al Qur’an, hadits, serta merupakan ijma’ ulama.

Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang makan(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Qs. Al-Baqarah: 275)

Dalam hadits diriwayatkan dDari Utsman bin Abi Ash radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menugaskanku untuk mengurursi kota Thaif, ada sesuatu yang mengganggu diriku dalam shalatku sehingga saya tidak sadar tatkala menjalankan shalat. Tatkala aku merasakan hal itu, maka aku pergi menemui Rasulullah.

Beliau bertanya,“Ibnu Abi Ash?!”

Jawabku, “Ya, wahai Rasulullah.”

Beliau bertanya lagi, “Apa yang mendorongmu kemari?”

Saya berkata, “Wahai Rasulullah, ada sesuatu yang mengganggu diriku dalam shalatku sehingga saya tidak sadar tatkala menjalankan shalat.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah setan, kemari mendekatlah kepadaku”. Akupun mendekati beliau sedangkan beliau duduk di hadapanku. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memukul dadaku dengan tangannya dan meludah ke mulutku seraya berkata,”Keluarlah wahai musuh Allah!” Beliau melakukan hal itu sebanya tiga kali kemudian bersabda, “Lanjutkan lagi tugasmu.” Utsman berkata, “Sungguh, setelah itu saya tidak merasakan sesuatu itu mengangguku lagi.”
(Sanad hadits ini shahih sebagaimana ditegaskan oleh Al-Busyairi dalam Misbah Zujajah (4/36-Sunan) dan Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah 6/1002/2. Bahkan ada jalur-jalur lainnya yang menambah kuat keabsahan hadits ini)

Oleh karena itu Syaikh Al-Albani rahimahullah berkomentar,” Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa setan bisa merasuk ke badan manusia sekalipun dia orang yang beriman dan shalih. Banyak hadits yang mendukung adanya hal itu.” (Ash-Shahihah 6/1002/2)

Untuk dalil dari ijma’ ulama penulis bawakan perkataan dari Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata, “Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kesepakatan umat telah menunjukkan bahwa jin bisa masuk pada jasad manusia. Lantas pantaskah bagi orang yang mengaku berilmu untuk mengingkarinya tanpa pijakan ilmu dan petunjuk. Laa haula wa laa quwwata illa billahi.”

Terdapat juga pendapat ahli kedokteran yang mengakui adanya fenomena kesurupan. Seorang pakar ilmu kedokteran sekaligus ilmu islam lainnya, Syaikhul Islam kedua, Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan, “Kesurupan itu ada dua macam: Kesurupan karena ruh-ruh jahat (baca: setan) dan kesurupan karena tercampurnya benda-benda yang kotor (penyakit kejang-kejang, ayan dan sejenisnya). Kesurupan jenis kedua inilah yang biasa dijadikan topik pembicaraan di kalangan ahli medis tentang faktor penyebab dan cara pengobatannya.”

Adapun kesurupan karena ruh-ruh (baca: jin), maka para pakar ilmuwan kedokteran tidak menolaknya, dan mereka mengakui bahwa cara pengobatannya yaitu dengan melawan ruh-ruh jelek dan keji tersebut dengan ruh-ruh yang baik dan suci sehingga melawan segala bentuk pengaruhnya dan mengusirnya.

Telah jelaslah wahai saudariku, bahwasanya fenomena seseorang kerasukan jin adalah benar adanya. Mengingkarinya adalah pendapat yang sungguh bathil. Karena sudah jelasnya dalil-dalil yang menunjukkan akan hal itu, yang pasti bisa diterima oleh akal sehat. Jadi yang perlu sangat diperhatikan, bahwasanya perihal mengimani/mempercayai adanya jin serta perbuatannya adalah termasuk permasalahan aqidah. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati di dalam berucap dan bertingkah menyikapi adanya fenomena orang yang kesurupan jin.

Tanda –tanda seorang kerasukan jin

Berikut ini ada beberapa tanda-tanda yang bisa dikenali dari seseorang yang kemasukan ruh jahat/ kesurupan

1. Tanda dalam tidurnya
1. Sulit tidur malam.
2. Banyak bangun malam.
3. Mimpi yang menakutkan.
4. Melihat binatang dalam tidurnya seperti kucing, anjing.
5. Giginya mengerat.
6. Tertawa, mengigau, teriak dalam tidur.
7. Mengaduh-aduh dalam tidur.
8. Mimpi jatuh dari tempat yang tinggi.
9. Mimpi dirinya di kuburan, tempat-tempat yang kotor atau jalan yang menakutkan.
10. Mimpi melihat sesuatu dengan sifat-sifat aneh (tinggi sekali, hitam, menakutkan dll).
11. Mimpi melihat bayang-bayang dirinya dalam tidurnya.
2. Tanda saat sadar
1. Pusing terus menerus, dengan catatan bukan pusing karena ada badan yang sakit.
2. Berpaling dari berdzikir kepada Allah.
3. Hilang akalnya.
4. Lemah dan malas.
5. Mengkerut salah satu syarafnya (selalu tegang).
6. Merasa sakit pada salah satu anggota badan yang dokter tidak mampu mengungkap jenis penyakitnya.
7. Sempoyongan saat berjalan dan bicaranya tidak jelas.


Terdapat juga cara lain yang bisa digunakan untuk mengenali orang yang kesurupan, yaitu dengan menyenteri bola mata pasien. Pada bola mata akan kita dapati garis-garis seperti jam. Apabila pada titik jam sebelas (pada jam sebelas) ada garis melintang menembus manik mata menuju angka lima (pada jam) itu berarti kesurupan, dan jika tidak ada berarti penyakit lain. Wallahu a’lam

Lalu wahai saudariku,, apa yang harus kita lakukan jika suatu saat hal itu menimpa salah satu kerabat kita, teman kita, bahkan bisa jadi kita sendiri. Akankah kita menyerahkan kepada pihak yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai “orang pinter” sehingga tercampurlah noda-noda kesyirikan dalam diri kita? Jawabannya tentu tidak. Na’udzubillahi min dzalik. Karena agama yang sempurna ini telah menjelaskan berbagai hal tentang cara mencegah maupun mengobati orang yang terkena penyakit tersebut. Sebagaimana dengan dzikir-dzikir yang telah Rasulullah ajarkan.

Oleh karena itu, hati-hatilah wahai saudariku janganlah kita sampai salah mengambil tindakan untuk menangani penyakit tersebut dengan cara-cara yang tidak disyari’atkan, karena saat ini ternyata sudah mulai bermunculan pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh “orang-orang pintar” yang katanya untuk membekali para guru di sekolah dalam menangani hal-hal semacam itu, dimana murid-murid di sekolah tersebut seringkali mengalami kesurupan.

Terapi untuk orang yang kesurupan itu ada dua cara:

1. Tindakan preventif (pencegahan sebelum terjadi)


Cara ini dapat ditempuh dengan berupaya menjaga dzikir dan doa pagi dan petang yang shahih, termasuk diantaranya seperti bacaan ayat kursi, sebab orang yang membacanya pada suatu malam, niscaya Allah akan selalu menjaganya dan setan tidak berani mendekatinya hingga datang waktu pagi. Demikian pula surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas serta doa/dzikir pagi dan petang sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah dalam hadits-haditsnya.

2. Mengobati setelah terjadinya kesurupan

Cara ini dapat ditempuh dengan ruqyah syar’iyah, yaitu membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang berkaitan tentang ancaman, peringatan dan perlindungan kepada Allah dari syetan, sehingga jin itu keluar dari badan orang yang kesurupan dengan dibarengi keimanan dan tawakal yang mantap kepada Allah bagi orang yang meruqyah dan diruqyah.

Demikianlah wahai saudariku apa yang dapat penulis sampaikan. Semoga bermanfaat dan kita senantiasa dilindungi dari perbuatan-perbuatan syirik, yang dapat mengantarkan kita kekal di neraka. Wallahu Musta’an
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

salam_sitijamilahamdi

Maraji’:
Do’a dan Wirid, Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al Qur’an dan As-Sunnah” oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah. Penerbit Pustaka Imam Syafi’i, Bogor
Uyunul Anba fi Thabaqat Al-Athibba’ hal 3 oleh Ibnu Ab ‘Ushibah
Kesurupan Jin (Abu Ubaidah Al-Atsari), Majalah Al Furqon, edisi 10 Th III
Meruqyah Diri Sendiri Sesuai Syar’i. Tim Daar Ibnu Atsir.(Daar An Naba)



I

KETIKA berita tentang tentara Salibis yang telah bersiap untuk meluluhlantakkan Islam sampai kepadanya, Abu Qudamah ASy-Syami bergerak cepat menuju mimbar masjid. Dalam pidato yang emosional dan bertenaga, Abu Qudamah membakar semangat masyarakat muslim untuk mempertahankan tanah air mereka, dengan jihad fi sabilillah. Tak lama setelah dia meninggalkan masjid, menuruni lorong sempit dan gelap, tiba-tiba seorang wanita menghentikan langkahnya dan berkata, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah!” Abu Qudamah berhenti, dan tidak menjawabnya.

Wanita itu mengulangi lagi salamnya, seraya menambahkan, “Hal demikian bukanlah tindakan yang seharusnya dilakukan orang shalih.” Lalu wanita itu berjalan selangkah mendekati bayangan Abu Qudamah. “Aku mendengar engkau di masjid memotivasi orang-orang beriman untuk pergi berjihad, dan yang aku punya hanyalah ini,” tuturnya seraya menyeragkan dua buah kuncir yang dipotong dari rambutnya. Wanita itu meneruskan, “Ini bisa digunakan sebagai tali kendali kuda. Semoga Allah menetapkan diri sebagai salah seorang yang pergi berjihad.

Pada hari berikutnya ketika penduduk perkampungan muslim telah bersiaga untuk berkonfrontasi dengan laskar Kristen, tiba-tiba seorang anak kecil berlari ke kerumunan dan berdiri di hadapan kuda yang ditunggangi Abu Qudamah. “Demi Allah, aku memohon kepada engkau agar mengizinkanku untuk bergabung ke dalam pasukan,” terang anak kecil itu. Tak ayal, beberapa mujahid yang lebih tua menertawakan anak tersebut. “Nanti kuda akan menginjak-injak engkau,” ejek yang lain.

Akan tetapi Abu Qudamah menatap dalam-dalam kedua matanya, lalu bocah kecil itu berkata lagi, “Demi Allah, izinkan aku untuk bergabung.” Abu Qudamah menimpali, “Tapi dengan satu syarat, jika engkau terbunuh, maka engkau akan membawaku ke surga bersama orang-orang yang engkau masukkan ke dalam syafaat (syahid)mu.” Anak itu lantas tersenyum sembari berucap, “Itu adalah janji.”

…Dia menggapai tingkatan ketakwaan maksimal, yang mana dia rela mengorbankan rambutnya, ketika hari ini banyak wanita memperindah rambut mereka untuk meniru orang-orang kafir…

Tatkala dua pasukan bertemu dan tensi pertempuran semakin meninggi, anak kecil yang dibonceng di belakang Abu Qudamah itu meminta, “Demi Allah aku meminta kepadamu untuk memberiku tiga anak panah!” Abu Qudamah menjawab, “Engkau akan menyia-nyiakannya.” Anak itu mengulangi lagi, “Demi Allah, aku meminta kepadamu untuk memberiku anak panah.”

Lalu Abu Qudamah pun memberinya tiga anak panah, lantas anak itu mulai membidik. “Bismillah,” ucapnya. Kemudian anak panah pertama itu melesat dan membunuh seorang tentara Romawi. “Bismillah,” ucapnya kedua kali. Lalu anak panah kedua melesat dan menewaskan seorang tentara Romawi lagi. “Bismillah,” ucapnya lagi. Kemudian anak panah terakhir itu pun menyungkurkan seorang tentara Romawi lainnya.

Tak lama setelah itu, sebuah anak panah melesat menembus dada anak kecil itu, membuatnya jatuh terpelanting dari kuda. Sontak Abu Qudamah pun loncat dari kudanya dan mendekati anak itu, lalu mengingatkannya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, “Jangan melupakan janji!” kemudian anak itu meraih sakunya, dan mengeluarkan sebuah kantong seraya berujar, “Tolong kembalikan ini kepada ibuku.” “Siapa ibumu?” tanya Abu Qudamah. Anak itu berkata dengan terengah-engah, “Wanita yang kemarin memberimu dua buah kuncirnya.”

Demikian kisah teladan mujahid Islam yang dikisahkan Ibnul Jauzi dalam Shifat Ash-Shafwah. (Shifat Ash-Shafwah, 1/459)

Renungkanlah wanita tersebut; bagaimana dia menggapai tingkatan ketakwaan maksimal, yang mana dia rela mengorbankan rambutnya, ketika hari ini banyak wanita memperindah rambut mereka untuk meniru orang-orang kafir. Dan dia juga pasrah mengorbankan anaknya, ketika dewasa ini para wanita justru sanggup mati asalkan anak-anak mereka bersama mereka. Ya, wanita dalam kisah di atas menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah, dan ketika ujian itu datang, dia dengan mudahnya melewatinya. Bukan hanya dirinya yang sanggup melewati ujian tersebut. Anak lelaki yang telah didiknya pun bersinar dengan kemilau keimanan seperti ibunya.

…Sejarah Islam diwarnai dengan banyak wanita beriman yang sukses mencetak mujahid tangguh dan para pembela Islam. Mereka patut ditiru. Mereka adalah teladan sempurna…


II

Sejarah Islam diwarnai dengan banyak wanita beriman yang sukses mencetak pribadi-pribadi tangguh dan para pembela Islam. Mereka patut ditiru, karena mereka adalah teladan sempurna. Kita mungkin pernah mendengar kisah tentang seorang pemuda dengan seorang raja kafir. Yaitu ketika seluruh penduduk desa berbondong-bondong memeluk Islam dikarenakan syahidnya pemuda tersebut, maka raja memerintahkan supaya di setiap jalan digali parit dan dinyalakan api. Lalu setiap penduduk ditanya tentang agamanya, jika dia telap setia kepada agama raja, maka dibiarkan. Akan tetapi jika dia tetap beragam dengan agama si pemuda (percaya kepada Allah), maka akan dimasukkan ke dalam parit api itu.

Maka orang berjejal-jejal saling dorong untuk masuk ke dalam parit api itu, disebabkan keyakinan mutlak mereka terhadap akidah sang pemuda yang syahid. Sehingga tiba giliran seorang wanita menggendong bayinya yang masih menyusu, ketika bayinya diangkat oleh pengikut-pengikut raja untuk dimasukkan ke dalam parit api itu, wanita itu hampir menuruti mereka untuk murtad, karena merasa kasihan kepada anaknya yang masih bayi. Tiba-tiba bayi itu berkata dengan suara lantang, “Bersabarlah wahai ibuku, karena engkau sedang mempertahankan yang benar.” Akhirnya, wanita mukminah itu masuk ke dalam parit api bersama bayi yang digendongnya.

Mengenai hal ini, Allah berfirman, “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Buruj 8-9).

Melalui pembinaan Al-Khansa yang dikenal sebagai ibunda para syahid, keempat anak lelakinya tampil menjadi pahlawan Islam yang terkenal. Ia mendorong keempat anak lelakinya tentang kemuliaan gugur syahid di medan Al-Qadisiyah…

Dan salah satu sosok mukminah yang sudah tak asing lagi adalah Al-Khansa yang dikenal sebagai ibunda para syahid. Dia menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As-Sulami. Dari pernikahan itu dia mendapatkan empat orang anak lelaki. Dan melalui pembinaan dan pendidikan tangan-tangannya, keempat anak lelakinya ini tampil menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Hal itu dikarenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur syahid di medan Al-Qadisiyah.

Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Al-Khansa. Di antara keempat putranya telah terjadi perebutan kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling tunjuk menunjuk kepada yang lainnya untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh fi sabilillah.

Rupanya, pertengkaran mereka itu telah terdengar oleh ibunda mereka, Al-Khansa. Maka Al-Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata:

“Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan dari seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati bapakmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu.

Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah, majulah paling depan niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat. Negeri keabadian.

Wahai anakku, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah. Inilah kebenaran sejati, maka untuk itu berperanglah dan demi itu pula bertempurlah sampai mati.

Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugrahi hidup.”

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak musuh yang terbunuh di tangan mereka. Akhirnya nyawa mereka sendirilah yang tercabut dari tubuh-tubuh mereka. Ketika ibunda mereka, Al-Khansa, mendengar kematian anak-anaknya dan kesyahidan semuanya, sedikit pun dia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia berkata, “Alhamdulillah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukan aku dengan putra-putraku dalam naungan Rahmat-Nya yang kokoh di surgaNya yang luas.”

…Ketika Al-Khansa, mendengar kesyahidan semua anaknya, sedikitpun dia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia berkata, “Alhamdulillah, Allah telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku…

Inilah mengapa Al-Khansha dijuluki ibunda para syahid (ummu syuhada). Namun bukan gelar sebagai Ummu Syuhada ini yang dia cari, melainkan keridhaan dari Allah SWT. Diberi gelar ataupun tidak adalah sama baginya, dia akan tetap memotivasi anaknya untuk tetap tegar di medan perang, dan rela melepas mereka semua pergi menuju kampung abadi dengan gelar sebagai syuhada.

MENCETAK PARA MUJAHID TANGGUH

Seandainya semua ibu dewasa ini memiliki orientasi hidup dan prinsip sebagaimana para ibunda dalam kisah di atas, maka dunia Islam akan melihat para pahlawan dan pejuang yang siap memperjuangkan Islam.

Namun, pada zaman ini, peran ibu seolah tergantikan oleh para pembantu, baby sitter, atau dititipkan di tempat penampungan anak (day care). Betapa banyak ibu yang lebih fokus dan ambisius pada karier mereka sehingga perhatian dan kasih sayang pada anak pun berkurang bahkan hilang. Tidak jarang pula dijumpai banyak para ibu yang memiliki banyak waktu bersama anak namun merasa bingung apa yang harus dilakukan untuk mengasah potensi buah hatinya.

Dua kondisi tersebut menunjukkan minimnya pemahaman seorang ibu tentang perannya dan optimalisasi perannya, yaitu berusaha melahirkan generasi mulia; generasi para mujahid. Tentunya, menjadi ibu pencetak mujahid meniscayakan proses pembelajaran, di antaranya adalah:

1. Bagaimana dia bisa memberikan pendidikan dan pengajaran terbaik pada anak-anaknya, meliputi pemahaman akidah yang benar, syariat yang komprehensif, dan akhlak terpuji.

…pendidikan dan pengajaran terbaik pada anak-anaknya, meliputi pemahaman aqidah yang benar, syariat yang komprehensif, dan akhlak terpuji…

2. Bagaimana agar anak-anaknya selalu memberikan respon positif kepada ibu mereka.

3. Bagaimana menampilkan pesona sejati ibu shalihah dan anak-anak yang shaleh serta shalihah?

4. Bagaimana ibu dan anak-anaknya dicintai Allah dan Rasul-Nya

5. Bagaimana ibu menemukan rahasia metodologi dan epistemologi dalam mencetak generasi mujahid, berdasarkan manhaj ahlussunnah wal jama’ah dan paradigma tha`ifah manshurah (kelompok yang selamat).

6. Terakhir, bagaimana menghadirkan suasana ‘perjuangan setiap hari' di rumah. Dalam artian, anak-anak harus diberi pemahaman bahwa antara kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung, dan kebenaran harus bisa melenyapkan kebatilan, dalam setiap ranah kehidupan.

…Hadirkan suasana ‘perjuangan setiap hari' di rumah. Anak-anak harus diberi pemahaman bahwa antara kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung. Dan kebenaran harus bisa melenyapkan kebatilan…

Guna merealisasikan hal-hal di atas, syariat Islam kaffah (integral) memberikan peranti-peranti yang dibutuhkan oleh ibu untuk belajar menjadi pencetak generasi mujahid. Pertama, ilmu Allah dengan Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kedua, teladan yang baik bagi para manusia, khususnya muslim dan muslimah dalam mendidik generasi mujahid, yakni Rasulullah, para shahabat dan shahabiyah, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, serta para ulama Salafus-Shaleh lainnya. Sementara hal-hal teknisnya bisa diketahui dan dipelajari dari berbagai majlis ilmu dan buku-buku keislaman yang bermanhaj lurus.

Demikianlah, semoga dalam waktu dekat kita akan menyaksikan munculnya para mujahid dari para ibunda seperti Al-Khansha dan lainnya. Sehingga mereka dapat tampil memberangus kebatilan, kemaksiatan kemusyrikan, hal-hal bid’ah, atau meruntuhkan hukum thaghut yang berkuasa. Amin!


salam_sitijamilahamdi



Latar Belakang

Dinamika kehidupan dunia yang berglobalisasi tanpa adanya satu kontrol dan saringan yang mumpuni akhir-akhir ini sangat mewabah di lingkungan kita. Di mana agama yang sebelumnya menjadi landasan kontrol moral dan akhlak manusia kini hanya seperti pekerjaan sambilan yang tidak terkesan penting. Hal itu sebetulnya sangat ironis karena dengan umat Islam menafikkan agama tentunya moral dan akhlakul karimah yang dimilikinya akan lenyap, dan ujung dari semua itu perbuatan amoral. Perbuatan munkar telah menjadi satu trendsetter terutama dikalangan muda Islam.
Untuk itu melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar termasuk kewajiban yang harus dilaksanakan setiap muslim untuk menyelamatkan masyarakat muslim dari berbagai bencana, penyakit dan kemaksiatan yang akan menghancurkan kehidupan umat Islam dan akan membunuh sendi-sendinya, serta pada puncaknya akan melenyapkan Islam dan pemeluknya.

Pada tulisan ini akan lebih ditonjolkan pengaplikasian dari amar ma'ruf nahi munkar yang diangkat dari hadits-hadits Rasulullah yang semata-mata diangkat dengan tujuan sedikit melebarkan mata kita tentang pentingnya melakukan kebajikan dan meninggalkan serta menjauhi apapun bentuk dari kemungkaran, yang sekarang ini telah luluh lantah sebagai dampak dari membomingnya globalisasi.

1. Apa yang dimaksud dengan amar ma'ruf nahi munkar?
2. Bagaimana pelaksanaan tingkatan amar ma'ruf nahi munkar?
3. Apa saja syarat-syarat perbuatan munkar yang wajib ditentang?

Pengertian / maksud dari amar ma'ruf nahi munkar

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan amar ma'ruf adalah menyuruh berbuat baik, dan nahi munkar adalah melarang berbuat jahat. Dan merupakan syiar agama yang utama dan tugas kaum muslimin yang besar. Allah SWT. telah memerintahkan kita agar berbuat baik dan melarang kita dari bebruat jahat di dalam kitab-Nya yang mulia, dan atas lisan Nabi-Nya seraya mengajarkan kita agar memberikan perhatian terhadapnya dan mengancam kita apabila mengabaikan tugas besar yang mulia.
Oleh karena itu, al-Qur'an dan as-Sunnah menegaskan pentingnya melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar dengan gambaran yang sangat mudah dan tidak rumit.

Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran : 104 :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dalam ayat di atas terdapat penjelasan tentang wajibnya mengajak manusia menuju kebaikan, memerintahkan mereka untuk berbuat baik dan mencegahnya dari perbuatan munkar. Kemudian, pada ayat itu pun dinyatakan "Dan merekalah orang-orang yang beruntung", menunjukkan bahwa keberuntungan itu hanya untuk mereka yang melaksanakan tugas mengajak manusia kepada kebaikan, memerintahkan berbuat ma'ruf dan mencegahnya dari perbautan munkar (jelek).

Dan perlu diketahui juga, bahwa menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat (amar ma'ruf nahi munkar) adalah fardhu kifayah. Apabila sebagian kaum muslimin telah menjalankan tugas ini, maka gugurlah dosa sebagian yang lain orang yang menjalankan tugas itu akan memperoleh pahala yang besar dari llah SWT. tetapi, jika seluruh kaum muslimin mengabaikan tugas ini, maka dosanya akan menimpa setiap orang yang mengetahui hukum-hukumnya, manakala kemungkaran terjadi di depan matanya, sedang ia tidak merubahnya dengan tangan atau lisannya, padahal ia mampu melakukannya.
Akan tetapi, jika ajakannya itu belum sampai kepada semua orang yang menjadi sasarannya, setiap orang yang mengetahuinya harus melaksanakan kefardhuan itu, sehingga yang lain tidak dikenai hukum fardhu.

Sabda Rasulullah SAW.

"Jika manusia melihat kemungkaran tetapi tidak mengubahnya, hampir saja Allah SWT, meratakan mereka (untuk) memberikan siksa-Nya". (HR. Ash-Hab Sunan, Imam Tirmidzi, berkata, ini hadits Hasan Sahih)

Pelaksanaan Tingkatan Amar Ma'ruf Nahi Munkar


Untuk melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nabi munkar terdapat beberapa tingkatan:

1. Pengenalan
Setiap mubaligh harus mengenalkan dan memberitahukan mengenai hukum Islam yang dilanggar oleh seseorang yang melakukan kesalahan dan menjelaskan hukuman Allah terhadap orang yang melakukan kemungkaran, serta kewajibannya yang harus dilakukan dengan cara lemah lembut.

2. Menasehati
Jika ada yang melakukan kemungkinan tetapi sebenarnya dia mengetahui bahwa itu perbuatan tercela atau mungkar, orang seperti harus diberi nasehat, dan ditakut-takuti dengan atau oleh siksaan Alah SWT. Akan tetapi pemberi nasehat harus waspada, jangan tersirat bahwa orang yang menjadi sasarannya, itu akan merasa dihina atau direndahkan.

3. Mencela dengan kata-kata kasar
Langkah ini mungkin dilakukan ketika dia tidak dapat mencegah kemungkaran dengan cara lemah lembut dan tantangan sedang menghadangnya.
Misalnya orang berani berbuat jahat dihadapannya atau langsung memperolok-oloknya.

4. Mengubah dengan tangan (kekuasaan)
Hal ini dapat dipergunakan untuk hal-hal, misalnya memecahkan alat kemungkaran (merobek kartu judi), menumpahkan minuman keras, memecahkan patung-patung, mengeluarkan orang yang duduk di malam masjid sedangkan dia mempunyai hadas. Akan tetapi tahapan ini tidak dapat langsung dilakukan, karena jika langsung dilakukan yang ada justru akan menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi.

Rasulullah SAW bersabda:

"Dari Abu Said al Khudri r.a. dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan (kekuasaannya), jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu juga, ubahlah dengan hatinya (diam saja), tetapi mengubah dengan hati (diam) itu merupakan iman yang paling lemah".
(HR. Imam Muslim dan Tirmidzi serta yang lain)

Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila suatu kemungkaran terjadi di depan mata, maka mula-mula hendaknya menunjukkan kesalahan itu dan melarangnya dengan sikap lemah lembut, kata-kata yang baik dan mengingatkan tentang hukum-hukumnya.
Jika tidak berhasil, maka hendaklah kita mengingatkannya dengan berbuat nasehat, khususnya terhadap ancaman Allah bagi pelaku maksiat, mengingatkan dengan kata-kata yang keras, jika cara ini tidak berhasil pula, maka gunakanlah cara kekerasan dengan tangan dan kekuasaan untuk merubah kemungkaran itu dan meluruskannya.

Syarat-syarat Perbuatan Munkar yang Wajib Ditentang

Perbuatan mungkar yang harus di tentang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perbuatan dinyatakan mungkar (jelek) menurut syari'at Islam baik yang termasuk dosa kecil maupun dosa besar, menentang kemungkaran tidak terbatas pada dosa-dasa besar saja.
2. Hendaknya kemungkaran (perbuatan buruk) itu ada seketika, misalnya melihat betul-betul yang sedang meminum arak, melihat yang sedang bercumbu rayu bahkan seseorang yang sedang mengumumkan kemungkaran.
3. Kemungkaran yang dilakukan itu jelas terlihat bukan berdasarkan berita tidak jelas.
4. Kemungkaran harus diketahui secara pasti (hukumnya) bukan hasil ijtihad, sebab jika hanya berdasarkan ijtihad, belum tentu semua ulama sepakat menyatakan haramnya. Jadi kemungkaran itu harus dinyatakan secara nas yang tidak dapat ditakwilkan.

KESIMPULAN

Bahwa yang dimaksud dengan amal ma'ruf nahi munkar adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat dan ini merupakan syiar agama yang utama dan tugas kaum muslimin yang sangat besar.
Kemungkaran itu harus dinyatakan secara pasti melalui nas yang tidak dapat ditakwil diartikan dalam pengertian lain. Jika ada kemungkaran yang masih diikhtilafkan oleh sebagian ulama, menentangnya tidak wajib, sebab masih ada kemungkinan lain (mungkin tidka sepenuhnya mungkar atau terlarang) dan setiap orang mempunyai pendapat yang mungkin berbeda dengan pendapat yang lain dan dalil yang dipergunakan dapat dibenarkan.
Apabila suatu kemungkaran atau perkara yang salah terjadi di depan mata, maka mula-mula hendaklah anda menunjukkan kesalahan itu dan melarangnya dengan sikap lemah lembut, kata-kata yang baik dan mengingatkan tentang hukum-hukumnya. Namun, jika tidak berhasil, maka hendaklah anda mengingatkannya dengan berbagai nasehat, khususnya ancaman-ancaman Allah, dengan memaksa dan mencela. Jika cara ini tidak berhasil pula, maka gunakanlah cara kekerasan dengan tangan dan kekuatan untuk merubah kemungkaran dan meluruskannya.
Jika dengan cara pertama dan kedua sudah ditempuh tanpa melalui kesulitan berarti tidak perlu menempuh cara yang ketiga. Namun, jika dengan cara pertama dan kedua tetap tidak berubah, barulah kita memakai cara ketiga, cara ini tidak semua orang bisa melakukannya, orang yang berani menempuh cara itu hanyalah orang yang benar-benar menyediakan dirinya untuk membela hak-hak Allah.

wallahu a'lam

dari berbagai sumber

salam_sitijamilahamdi
penulis: fatih kafabih

Recent Readers