Secara bahasa
isbal adalah diambil dari kata “Asbala izaarahu”, yang artinya “menjuraikannya”. Jika dikatakan “asbala fulanun tsiyabahu” artinya orang tersebut memanjangkan dan menjuraikan pakaiannya sampai ke tanah”.
Secara istilah
isbal adalah
(1) menjuraikan kain/celana sehingga ujung kain/celana harus diseret ketika berjalan
(2) menjuraikan dan melabuhkan pakaian hingga melewati batas yang telah ditetapkan dalam nash-nash syar’i, baik karena sombong atau tidak.
Apakah Isbal Permasalahan yang Sepele ?
Banyak diantara kaum muslimin yang meremehkan permasalahan yang satu ini, sebagian diantara mereka berkata “ah… kalian ini hanya berbicara masalah yang sepele, ini kan masalah furu’ (masalah cabang, bukan masalah pokok), gimana islam mau maju…”. Sama persis seperti perkataan beliau yang saya kutip di atas.
Saya katakan kepada beliau agar menyimak firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam islam secara kaffah” (QS. Al-Baqarah : 208).
Ibnu Katsir rohimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa “masuklah kalian ke dalam islam dan ta’atilah seluruh perintah-perintahnya”.
Al-Ausy rohimahullah berkata “makna (dari ayat tersebut) adalah “masuklah kalian ke dalam islam dengan seluruh dirimu, dan janganlah kamu biarkan sedikitpun, baik itu yang berhubungan dengan hal-hal yang lahir maupun yang batin melainkan berada dalam islam, sehingga tidak ada tempat bagi yang lain (dari selain islam)”.
Tidaklah pantas seorang muslim meremehkan suatu perkara di dalam agama ini, yang perkara tersebut adalah perkara yang besar. Saya bawakan salah satu kisah dari khalifah Umar bin Khattab rodhiallahu’anhu yang sangat masyhur yaitu ketika peristiwa terbunuhnya beliau,
Setelah Umar bin Khattab ditikam oleh seorang budak ketika mengimami sholat subuh berjama’ah di masjid, beliau segera dibawa kerumahnya dan para sahabat yang lain mengikuti beliau sampai kerumahnya. Setelah sampai dirumah beliau, para sahabat memberi beliau minuman nabidz dan beliau langsung meminumnya, namun minuman tersebut keluar kembali dari lubang tikaman diperutnya. Kemudian dibawakan kepadanya susu dan beliau meminumnya, namun susu tersebut juga keluar dari perutnya yang ditikam.
Tiba-tiba datang seorang pemuda dan berkata kepada beliau “Bergembirahlah wahai amirul mu’minin dengan berta gembira dari Allah untukmu, engkau adalah sahabat Rasulullah, pendahulu islam, engkau adalah pemimpin dan engkau berlaku adil, kemudian engkau diberikan Allah syahadah (mati syahid)”, Umar lalu menjawab “Aku berharap seluruh perkara yang engkau sebutkan tadi cukup untukku, tidak lebih ataupun kurang”. Tatkala pemuda itu berbalik ternyata pakaiannya terjulur hingga menyentuh lantai (isbal). Umar lantas memanggilnya dan berkata, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu sesungguhnya hal itu akan lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih menaikkan ketaqwaanmu kepada Rabbmu”, [Lihat Al-bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir].
Umar bin Khattab yang merupakan sahabat kibar menganggap perkara tersebut adalah perkara yang besar, bahkan ketika menjelang ajalnya beliau masih menyempatkan diri untuk menasehati seorang pemuda yang berpakaian isbal. Bagaimanakah dengan kita? apakah kita merasa lebih berilmu dan lebih taqwa dibandingkan Umar bin Khattab sehingga menganggap remeh permasalahan tersebut?
Dalil Larangan Berpakaian Isbal
Banyak sekali dalil yang mengharamkan berpakaian isbal baik dalam keadaan sombong atau tidak. Tercatat sebanyak 15 sahabat rasul yang meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan permasalahan isbal. Diantaranya adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, ‘Aisyah, Abu Sa’id Al-Khudry, Hudzaifah, Abu Umamah, Samurah bin Jundub, Al-Mughirah bin Syu’bah, Sufyan bin Sahl, ‘Ubaid bin Khalid, Jabir bin Sulaim, ‘Amru bin Syarid, ‘Amru bin Zarrah, Anas bin Malik, rodhiallahu’anhum. Begitu banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits mengenai larangan berpakaian isbal menandakan bahwa hadits-hadits tersebut saling menguatkan dan mencapai tingkatan mutawatir.
Berikut saya bawakan dalil mengenai haramnya berpakaian isbal :
(1)Diriwayatkan dari Ibnu Abbas rodhiallahu’anhu secara marfu’
“Segala sesuatu yang melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya adalah) di neraka” [Lihat Shahihul Jaami’ no. 4532].
(2)Dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, dari Nabi shollahu’alaihiwasallam, beliau bersabda,
“Segala sesuatu yang turun melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits Shahih di keluarkan oleh Bukhori no. 5787, Nasa’i 5331, Ahmad 9618)
(3)Dari ‘Aisyah rodhiallahu’anha dari Nabi shollahu’alaihiwasallam,
“Apa saja yang berada di bawah mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Ahmad)
(4)Dari Samurah bin Jundub rodhiallahu’anhu, lafaznya sama dengan hadits di atas.
(5)Dari Ibnu Umar rodhiallahu’anhu dia berkata Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
“Segala sesuatu yang dibalik (dibawah) mata kaki maka tempatnya di neraka”, [Lihat Shahihul Jaami’ no. 5618].
Hadits-hadits shahih di atas menyatakan bahwa ancaman isbal sangat berat yaitu diancam dengan neraka, dan ketahuilah bahwa kaidah ushul fiqh menyatakan “jika suatu dosa yang diancam dengan ancaman neraka maka hakekatnya itulah dosa besar”. Kaidah ini sudah ma’ruf dikalangan ushuliyyin. Berikut rincian kaidah suatu dosa dianggap dosa besar [Lihat Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Utsaimin, Darul Aqidah hal. 78] :
1. Setiap dosa yang ada padanya ancaman khusus (salah satunya ancaman neraka –pen), maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Dalam hal ini isbal dikategorikan kedalamnya.
2. Setiap dosa yang ada padanya hukuman hadd di dunia, maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Misalnya membunuh dan berzina.
3. Setiap dosa dimana nabi berlepas diri dari pelakunya, maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Misalnya tinggal di negeri kafir dan tidak mampu memperlihatkan syi’ar islam di negeri tersebut.
Selain dalil di atas, saya bawakan dalil larangan isbal secara mutlak :
(1) Dari Al-Mughirah bin Syu’bah rodhiallahu’anhu, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
“Wahai Sufyan bin Sahl janganlah kamu melakukan isbal, sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan isbal” [Hadits Hasan, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah 2876].
(2) Dari Jabir bin Sulaim rodhiallahu’anhu bahwasanya Nabi shollallahu’alaihiwasallam
“…dan berhati-hatilah kamu terhadap isbalnya sarung (pakaian), karena sesungguhnya isbalnya sarung (pakaian) itu adalah bagian dari kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Lihat As-Shahihah 770].
Ingat kembali kaidah ushul yang menyatakan bahwa “larangan itu menunjukkan keharaman” atau “asal hukum larangan adalah menunjukkan keharaman”. Dan larangan pada hadits tersebut bersifat mutlak dan tidak bisa diingkari lagi.
Haram Melakukan Isbal Walaupun Tanpa Kesombongan
Sebagian manusia mengatakan “tidak apa-apa isbal asal tidak dengan kesombongan”. Mereka berdalil dengan Hadits Ibnu Umar, beliau rodhiallahu’anhu berkata :
“Aku pernah masuk menemui Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
Kemudian beliau menoleh ke Abu Bakar, lalu bersabda ‘barang siapa yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat’, maka Abu Bakar berkata ‘sesungguhnya pakaianku sering turun’, lalu Rasulullah bersabda ‘kamu tidak termasuk dari mereka’, (dalam riwayat yang lain dinyatakan ‘kamu bukan orang yang melakukannya dengan sombong’)”. [Dikeluarkan oleh Ahmad, Abdurrazzaq dan yang lainnya. Syaikh Al-Albany mengatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim, Lihat As-Shahihah 4/95).
Ketahuilah bahwa dalil di atas justru juga digunakan oleh para ulama akan keharaman isbal. Maka Hadits di atas sebenarnya bukan hujjah buat mereka yang berpendapat demikian, akan tetapi justru merupakan hujjah untuk membantah mereka. Ketika mengomentari hadits tersebut Syaikh Al-Albani mengatakan :
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang jelas bahwasanya wajib bagi setiap muslim untuk tidak memanjangkan pakaiannya sampai di bawah mata kaki akan tetapi hendaklah dia mengangkatnya ke atas kedua mata kaki sekalipun hal tersebut dilakukan dengan tidak disertai sombong.
Dalam hadits ini pula terdapat bantahan yang jelas terhadap para masyayikh yang memanjangkan ujung jubah-jubah mereka sampai hampir-hampir menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa mereka meninggalkannya demi mengikuti perintah Rasulullah sebagaimana yang beliau perintahkan kepada Ibnu Umar ? Ataukah mereka merasa lebih suci hatinya daripada Ibnu Umar ?” [Lihat As-Shahihah 4/95 oleh Al-Albani].
Saya bawakan perkataan Syaikh Utsaimin dalam permasalahan tersebut, bahwa hadits tersebut tidak tepat dijadikan hujjah dipandang dari 2 sisi :
(1) Perkataan Abu Bakar rodhiallahu’anhu “Sesungguhnya salah satu dari ujung kainku sering turun, kecuali jika aku menjaganya” (lihat Ghayatul Maraam no. 90 -pen). Dengan demikian jelaslah bahwa Abu Bakar memang tidak sengaja menurunkan pakaiannya karena bermaksud sombong, akan tetapi pakaiannya turun dengan sendirinya namun ia selalu menjaganya, (bandingkan dengan orang-orang yang memang sengaja menurunkan celananya dan menganggap remeh permasalahan ini, apakah mereka merasa lebih baik dari Abu Bakar -pen).
(2) Bahwasanya Abu Bakar telah mendapat rekomendasi dari Rasulullah dan beliau menyadarinya bahwa Abu Bakar bukan orang yang melakukannya dengan maksud sombong. Maka apakah orang-orang yang menurunkan celana dengan sengaja apakah sudah mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah?.
Syaikh Bin Baz mengomentari hadits tersebut “…sebab dia (Abu Bakar) tidak sengaja memanjangkannya, (yang terjadi pada keadaan seperti ini) hanya bahwa pakaiannya sendiri yang suka turun, namun dia selalu mengangkat dan menjaganya, yang demikian ini tidak dapat dipungkiri akan keudzurannya. Adapun orang yang memang sengaja menurunkannya baik itu celana, sarung atau baju, maka ia terkena ancaman, dan perbuatannya itu tidak termasuk udzur. Sebab hadits-hadits shahih yang melarang tentang isbal ini telah mengenai dirinya, baik secara lafaz maupun secara makna dan maksudnya…”.
Terdapat hadits lain yang menegaskan permasalahan ini, yaitu hadits dari Abu Umamah rodhiallahu’anhu dimana dia berkata,
“Tatkala kami bersama Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
Ketika mengomentari hadits ini Ibnu Hajar rohimahullah berkata “Dhohir hadits tersebut menunjukkan bahwa Amru tidak bermaksud melakukan isbal karena sombong. Namun demikian dia telah dilarang oleh Rasulullah untuk melakukannya, sebab pada isbal itu terdapat kesombongan” [Lihat Fathul Baari 10/264].
Membawa Mutlak Kepada Muqoyyad
Ada juga sebagian manusia yang membantah bahwa nash-nash yang datang secara muthlak mengenai larangan isbal tersebut harus di muqoyyadkan pada lafaz “karena sombong”, dan mereka mengatakan bahwa membawa dalil mutlak kepada dalil muqoyyad itu wajib hukumnya. Kaidah tersebut memang benar, akan tetapi salah dalam penerapannya. Mari kita bawa ke kaidah ushul fiqh, dan sebelumnya saya bawakan 3 hadits berkenaan dengan syubhat tersebut.
(1) Beliau shollallahu’alaihiwasallam
“Barangsiapa yang menurunkan pakaiannya (dibawah mata kaki) karena sombong, niscaya Allah tidak akan memandang kepadanya (Hadits shahih dikeluarkan Bukhori 3665, 5784, Muslim 2085, Tirmidzi 1730, Ahmad 5337 dari hadits Ibnu Umar ).
(2) Dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam
“Segala sesuatu yang turun melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits Shahih di keluarkan oleh Bukhori no. 5787, Nasa’i 5331, Ahmad 9618)
(3) Nabi shollallahu’alaihiwasallam
“Ada tiga (golongan manusia) yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat dan mereka tidak akan diperhatikan dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih ; orang yang melakukan isbal, tukang adu domba, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Muslim 106, Abu Dawud 4087 dari hadits Abu dzar rodhiallahu’anhu).
Syaikh Utsaimin menjelaskan ketiga hadits di atas :
Hadits 1 dan hadits 3 dapat dimuqoyyadkan karena hukumnya sama yaitu bahwa pelakunya tidak dipandang oleh Allah (pada hari kiamat), walaupun sebabnya berbeda, pada hadits 1 isbal dengan sombong dan pada hadits 3 hanya dikatakan pelaku isbal tanpa disertai lafaz sombong. Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab berbeda akan tetapi hukumnya sama maka bisa dimuqoyyadkan”. Jadi kita katakan bahwa isbal yang dimaksud pada hadits 3 tersebut adalah isbal dengan kesombongan (dikaitkan dengan hadits 1). Akan tetapi pada hadits 2 terdapat pengecualian karena hukumnya berbeda (diancam dengan neraka) maka kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab sama akan tetapi hukumnya berbeda” maka tidak bisa di muqoyyadkan, [Lihat Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Ustaimin, Darul Aqidah, hal. 109-110].
Dari kaidah tersebut dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya isbal itu jika dilakukan dengan maksud menyombongkan diri maka hukumannya adalah : pelakunya tidak dipandang oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah, dan tidak akan disucikan, serta baginya siksaan yang pedih. Adapun jika dilakukan tanpa bermaksud sombong, maka hukumannya adalah diazab apa yang turun melebihi mata kaki dengan api neraka. Dan banyak lagi hadits-hadits lain yang menguatkan keterangan ini. Apakah kita masih menganggap remeh permasalahan ini?
Melaksanakan sunnah Rasul ini sangat mudah dan tidak sulit. Kita TIDAK diwajibkan harus memakai jubah arab, gamis pakistan atau yang lainnya, akan tetapi pakaian seorang muslim itu disesuaikan dengan urf (adat istiadat dan budaya setempat) dengan syarat harus sesuai syari’at (seperti menutup aurat dan tidak isbal). Jika di negeri kita sudah umum memakai celana panjang, maka itulah urf masyarakat kita. Rasulullah memberi keringanan dalam masalah isbal, yaitu tidak boleh melewati kedua mata kaki (walaupun yang lebih utama adalah sebatas pertengahan betis) dan mudah sekali bagi kita untuk memotong sedikiiiit saja ujung celana kita agar tidak melewati kedua mata kaki, tentu tidak sulit bukan…?
Bagaimanakah Dengan Isbal Wanita ?
Seorang wanita pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
Dalam perkara isbal, maka para wanita dibedakan dari para laki-laki sebab wanita membutuhkan untuk menutup auratnya (seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan). Sesuai dengan sabda Rasul “Wanita itu adalah aurat” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya).
Pakaian wanita tidak boleh melewati mata kakinya lebih dari satu siku, apabila pakaian wanita melewati mata kakinya lebih dari satu siku maka haram hukumnya bagi mereka. Ketentuan ini sesuai dengan hadits Ummu Salamah mengenai pertanyaan beliau kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam
Penutup
Bahkan ketika dalil demi dalil dikeluarkan satu persatu, ternyata masih ada juga yang menolak perkara haramnya melakukan isbal. Diantaranya menyatakan bahwa “dalam Al-Qur’an gak ada dalilnya tuh!”, padahal Rasulullah sudah menyatakan yang kira-kira arti secara maknanya adalah “kepada saya diturunkan Al-Qur’an dan yang semisal dengannya (Hadits/Sunnah –pen)”, maka apakah kita masih mencari-cari dalih untuk menolak apa-apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya?
Hak-hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg hrs dipenuhi oleh umat Islam ialah taat kpdnya, menjauhkan semua larangan dan beribadah kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn mengikuti (ittiba’) yg dicontohkannya. Karena beliau diutus untuk ditaati dan diteladani.
“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayg. [Ali Imran : 31]
“Sesungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yg baik bagimu (yaitu) bagi orang yg mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [Al-Ahzab : 21]
Semoga dengan risalah ringkas ini semakin memantapkan kita dalam mengamalkan apa-apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mengagungkannya serta tidak menganggap remeh suatu perkara agama. Hanya kepada Allah kita meminta petunjuk… Wallahu a'lam,
salam_sitijamilahamdi
Referensi :
(1) Al-isbal Liqhoiri Al khuyalaa’, Walid bin Muhammad Nabih
(2) Isbaal ats Tsiyaab Baina Al I’jaab Wa Al I’qoob, Abdullah bin ‘Abdul Hamid
(3) Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir
(4) Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Ustai