SIKAP terlalu berlebihan (overprotective)dalam melindungi anak membuat orangtua ekstra sibuk dalam menjaga dan memberikan perhatian. Betapa tidak, orangtua akan berupaya untuk selalu ada di samping anaknya, tidur bersamanya, sengaja berperilaku kekanak-kanakan ketika bersamanya, dan dalam memberikan pelayanan kepadanya.

Hilangnya beban tanggung jawab yang dipikul anak dalam kehidupan keluarga di rumah atau di luar rumah akan menjadi ganjalan yang menyebabkan hilangnya harmonisasi psikologis dan sosial dalam diri anak. Tentunya hal itu akan menghalangi anak untuk dapat memecahkan masalahnya sendiri (problem solving), takkan bisa hidup mandiri, serta tak memiliki kepribadian kuat yang dapat memainkan peranannya secara efektif.


Sebagian orangtua selalu melindungi anak-anak berdasarkan pengalaman hidup yang dialaminya. Mereka cenderung mengontrol segala urusan hidup anak mereka, sehingga mengekang ruang gerak anak dan menghadapkannya dengan aktivitas keluarga an-sich. Tak heran jika terkadang terjadi pertikaian antara keluarga dan anak sebagai akibat dari kekuasaan otoriter, pemaksaan, dan dominasi sang kakak terhadap adiknya.

Akibat dari sikap overprotective pada akhirnya menimbulkan disharmonisasi dalam kepribadian anak. Dia akan sibuk memperhatikan diri sendiri dan menarik diri dari kehidupan sosial, karena dia tahu bahwa orang lain tidak akan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkannya, jika dibandingkan dengan kebutuhannya yang terpenuhi di rumah.

Tak hanya itu, proses pertumbuhan pun terhambat. Dia tidak dapat hidup mandiri dan berani memikul tanggung jawab, tidak mampu bergaul dalam kondisi kehidupan yang heterogen, serta tidak akan struggle (gigih) menghadapi kesulitan yang menghadangnya.

Dalam bukunya Tansyi’ah Ath-Thifl, Shadiq Asy-Syarbini menuliskan riset bahwa sikap mudah menyerah yang menghinggapi anak sangat erat hubungannya dengan kecenderungan para ibu dalam memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak. Kondisi seperti ini berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, seiring dengan perbedaan status sosial dan wawasan mereka. Budaya inilah yang membentuk perilaku tersebut, dari satu generasi ke generasi lainnya.

Salah satu pemahaman cinta yang salah kaprah adalah ketika orangtua atau pendidik terlalu memanjakan anak. Dia memenuhi apa saja keinginan anak, meskipun hal itu sulit diwujudkan sampai kapan pun. Perilaku demikian membuat anak merasa bahwa dirinya adalah sosok yang istimewa, karena permintaan dan perintahnya selalu dipenuhi, sehingga membuatnya mudah menyerah.

…Salah satu pemahaman cinta yang salah kaprah adalah ketika orangtua atau pendidik terlalu memanjakan anak…

Di antara dampak dari sikap terlalu memanjakan anak, seperti dinyatakan Mahmud Hasan dalam Al-Usrah wa Musykilatuha, adalah:

1. Anak akan meremehkan tanggung jawab, karena merasa segala permintaannya dipenuhi.

2. Anak akan ‘menguasai’ orangtuanya. Sehingga orangtua akan tunduk kepadanya.

3. Anak akan memiliki rasa cemburu dan arogan yang berlebihan. Dia senantiasa mengatakan, “Ayah dan ibuku tidak pernah menolak permintaanku.”

4. Anak akan membangkang perintah orangtuanya, dan kurang memiliki rasa hormat kepada keduanya, serta mengabaikan aturan keluarga yang telah disepakati.

Anak tidak akan mampu beradaptasi secara sosial, karena dia beranggapan bahwa teman dan sahabatnya akan mengabaikan permintaan dirinya.

5. 
Shadiq Asy-Syarbini menguraikan, sikap memanjakan anak bisa timbul karena dua hal:

1. Ambisi orangtua karena tidak mendapatkan kasih sayang, kecintaan, dan kelembutan pada masa kecilnya. Sehingga orangtua akan menumpahkan perasaan cinta dan kemanjaannya kepada anak-anaknya.

2. Keinginan orangtua untuk mentradisikan apa yang telah mereka dapatkan dari orangtuanya di masa kecil, dan menerapkan cara mendidik yang didapatkannya pada masa kecil.

…Istri para shahabat Nabi senantiasa mendorong anak-anak mereka untuk berjihad dan memerangi musuh, tanpa pernah takut bahwa nyawa anak-anak terancam…

Sementara istri para shahabat Nabi senantiasa mendorong anak-anak mereka untuk berjihad dan memerangi musuh, tanpa pernah takut bahwa nyawa anak-anak terancam. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Asy-Sya’bi, bahwasanya seorang wanita menyodorkan pedang kepada anaknya pada Perang Uhud. Namun sang anak tak kuat membawa pedang yang berat itu. Lalu wanita itu mengikatkan pedang itu ke lengan anaknya, seraya mendatangi Nabi Muhammad, dan berkata, “Wahai Rasulullah, inilah anakku yang akan berjuang bersamamu.”

Rasulullah berkata, “Wahai anakku, bawalah kemari! Wahai anakku, bawalah ini kemari!” Dalam peperangan, ketika melihat anak itu terluka, Rasul mendatanginya. Beliau bertanya, “Wahai anakku, apakah engkau merasa takut?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah!”

Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dia berkata, “Rasulullah menolak Umair bin Abi Waqqash untuk ikut dalam Perang Badar, karena masih kecil. Namun Umair menangis, dan Rasulullah pun mengizinkannya.” Sa’ad berkata, “Aku pun mengaitkan ujung pedang itu di tangannya. Aku menyaksikan Perang Badar, dan tidak ada sesuatu (jenggot dan kumis) di wajahku, kecuali sehelai rambut yang aku usap dengan tanganku.”

…Anak-anak yang terbina dengan jihad, tak mengenal kata malas atau bosan dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah anak-anak siap membela panji tauhid dan berperang melawan tirani kekafiran…

Merekalah anak-anak yang terbina dengan jihad. Anak-anak yang –meminjam istilah DR Abdurrabil Rasul Sayyaf– terdidik dengan pendidikan medan perang. Mereka tidak mengenal kata berat, malas, atau bosan dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah anak-anak yang berusaha dengan segala cara untuk dapat membela panji tauhid dan berperang melawan tirani kekafiran. Mereka tidak pernah menuntut untuk dipenuhi segala permintaan mereka yang berkaitan dengan hal-hal duniawi. Sehingga panji Islam pada saat itu berkibar dengan gagahnya
salam_sitijamilahamdi

0 komentar

Recent Readers