بسم الله الرحمن الرحيم


Yang sering saya amati ketika silaturrahim ke rumah seseorang yang tinggal serumah dengan saudara iparnya adalah adanya kesalahan dalam memahami pengertian ipar sebagai mahrom kita.
Ada yang “sekedar” tidak mengenakan kaos kaki, ada juga yang sampai berboncengan dengan iparnya.
Ketika saya bertanya tentang alasan pembolehan membuka sebagian aurat di depan ipar? Dijawab olehnya bahwa ipar adalah mahrom sementara. Karena selama ia menjadi suami saudara perempuan kita, maka ia diharamkan untuk menikahi kita. Sehingga kita pun boleh (misal) tidak mengenakan kaos kaki di hadapannya.

Sebenarnya dalam Islam ada bentuk kemahroman yang mengharamkan pernikahan untuk sementara waktu, dan biasa dikenal dengan sebutan mahrom sementara. Mahrom semacam ini tetap tidak boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama.
Misalnya, istri seseorang. Selama masih menjadi istri seseorang maka wanita itu haram untuk dinikahi laki laki lain dan tentu saja haram untuk dilihat auratnya. Namun jika wanita tersebut sudah bercerai atau suaminya meninggal, maka statusnya sebagai mahrom sementara pun akan terhapus dan boleh bagi laki laki lain untuk menikahinya.

Termasuk dalam kategori ini adalah saudara ipar. Ia adalah mahrom sementara juga. Sementara menjadi suami saudari kita, maka ia haram menikahi kita. Namun bukan berarti kita boleh memperlakukannya layaknya mahrom kita.

Berhati hatilah dengan ipar kita..
Tetaplah tutup aurat kita bila berhadapan dengannya...
Mungkin akan terasa berat bagi kita jika harus mengenakan jilbab dan kaos kaki bila ada ipar di rumah kita. Tapi ketahuilah bahwa Allah telah menjanjikan jannahNya sebagai ganti dari usaha kita dalam menjaga aurat.

Ingatlah selalu sabda rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam , al Hamwu al mautu, ipar adalah kematian. Ini adalah peringatan dini dari beliau untuk berhati hati terhadap ipar.

***

Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Penggunaan kata muhrim untuk mahram perlu dicermati.
Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang sedang mengerjakan ihram (haji atau umrah). Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614)

Mahram Sebab Keturunan

Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para 'Ulama. Allah berfirman; "Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1)ibu-ibumu; (2)anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-sauda-ramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5)saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan" (An Nisà'4/23)

Dari ayat ini Jumhùrul 'Ulàmà', Imam 'Abù Hanifah, Imam Màlik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allàh "anak-anakmu yang perempuan" (An Nisà'4/23). Diriwayatkan dari Imam Asy Syàfi'iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berati boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara syari'at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat:

"Allàh mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan" (An Nisà'/4:11).

Karena anak hasil zina tidak berhak menda-patkan warisan menurut 'ijma' maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh 'Imàduddin Ismà'il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)

Mahram Sebab Susuan

Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hàfizh 'Imàduddin Ismà'il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan" (HR. Al Bukhàri dan Muslim).

Al-Qur'àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan: "(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara perem-puan sepersusuan" (An Nisà'/4:23).



Mahram Sebab perkawinan

Mahram sebab perkawinan ada tujuh.


"Dan ibu-ibu istrimu (mertua)" (An Nisà'/4:23)
"Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)" (An Nisà'/4:23)
"Dan anak-anak istrimu yang dalam pemelihraanmu dari istri yang telah kamu campuri" (An Nisà'/4:23).

Menurut Jumh urul `Ulàmà' termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.

"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)". (An Nisà'/4:22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.

"Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara" (An Nisà'/4:23)
Rasulullàh Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu;
Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya" (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)

Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.

Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan 'ijmà`ul `ulàmà'. ( Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir 1/559).

Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nùrain, Utsmàn bin 'Affàn menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Zina dengan seorang perempuan semoga Allàh menjauhkan kita semua dari itu tidak menjadikan mahram anaknya ataupun ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.

Wanita yang bersuami

Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami."Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami" (An Nisà'/4:24). Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan. "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untk berzina" (An Nisà'/4:24). Wallàhu 'a`làm (Asri Ibnu Tsani)

Pastinya ada pertanyaan bagaimana Kalau ipar Dari Istri atau ipar dari suami hukumnya :

Ipar dari istri anda adalah asing (bukan mahram) bagi dia. Istri anda harus mengenakan hijab (jilbab) ketika berhadapan dengan dengannya dan tidak boleh berduaan saja dengannya. Nabi Muhammad Saw. mengingatkan dengan keras tentang masalah ipar, karena di masyarakat banyak terjadi percampuran pergaulan tanpa batas antara ipar yang dapat menyebabkan berbagai masalah dalam rumah tangga nantinya.

Atas pertanyaan anda, Syeikh Ahmad Kutty, pengajar senior dan ulama di Institut Islam Toronto, Kanada, menjelaskan:

Istri anda tidak diperbolehkan untuk memperlakukan iparnya seperti mahram; iparnya bukanlah mahram bagi istri anda, ipar istri anda tidak jauh beda dengan seorang asing/tamu sehingga aturan untuk mengenakan hijab/jilbab dan menjaga diri tetap berlaku.

Seorang yang dianggap mahram adalah seseorang yang dimana ia tidak diperbolehkan untuk menikahi dia kapan pun dan dalam kondisi apapun. Istri anda diperbolehkan untuk menikahi ipar anda, jika saja seandainya anda bercerai dengan istri anda dan dia kakak perempuan anda juga bercerai dengan suaminya atau meninggal. Dengan kata lain, batasan pernikahan yang sekarang ada bukan berarti menjadikan mereka mahram karena batasan yang ada (kemahraman) itu hanya sementara saja.

Lebih jauh lagi, Nabi Muhammad Saw. memperingatkan kita tentang perlunya menjaga diri dari hubungan antar kerabat seperti dengan ipar. Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Jangan kamu sekalian masuk ke dalam (ruang) wanita. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah bagaimana dengan saudara ipar?”. Rasulullah menjawab, “Saudara ipar adalah kematian” (HR Ahmad, Tirmidzi, Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2677). Dengan kata lain, hubungan dengan ipar akan beresiko kepada perbuatan dosa dibanding dengan orang asing, karena sudah pasti intensitas pertemuan dan interaksi dengannya akan jauh lebih banyak dan hasilnya tentu lebih merusak dibanding kematian. Untuk itu marilah kita menjaga diri kita dari segala macam pintu godaan, seperti dalam sabda Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan bahwa setan itu bekerja bagaikan aliran darah dalam tubuh manusia. Kita dapat terlindung dari godaan setan hanya dengan cara selalu mengingat Allah Swt. dan mengerjakan segala perintah dan larangan-Nya.

Kesimpulannya, istri anda harus tetap mengenakan hijab/jilbab di depan kakak/adik iparnya dan dia tidak boleh berdua-duaan saja dengannya dalam kondisi bagaimanapun juga.

*****
Banyak diantara kaum muslimin dan muslimah yang belum mengetahui tentang hukum saudara ipar, mereka menganggap biasa saja apabila sang istrinya berduaan dengan adik suami atau kakak suami (yang biasa kita sebut dengan saudara ipar)atau ketika ada saudara iparnya sang istri bebas membuka hijabnya karena menganggap bahwa saudara iparnya adalah mahram baginya. Padahal perbuatan ini adalah salah.Rasulullah wassalam telah memberitahu kita bahwa kita harus berhati-hati dengan saudara ipar, yang karena bahayanya maka diibaratkan dengan ”maut”.Nah, simak keterangan selengkapnya tentang hukum saudara ipar ini bersama Syaikh Utsaimin, (semoga Allah merahmatinya).


Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang wanita yang tinggal besama saudarinya yang telah bersuami. Tatkala bersama saudara iparnya, ia tak berhijab. Bila diingatkan tentang hal itu, ia berdalih, bahwa ia dengan iparnya adalah mahram muaqat (mahram sementara) sehingga boleh lepas hijab.

Jawaban.

Ada syubhat (ketidak pahaman) pada wanita tersebut. Ia beranggapan, bahwa seorang ipar, yang terlarang menikahinya selama masih (berkeluarga) dengan saudara kandungnya, termasuk mahram, (walau) mahram mua’aqat (mahram sementara).

Pemahaman begitu salah. Sesungguhnya, mahram ‘ila amadin’ (mahram temporer) itu bukanlah mahram. Hendaknya ia diperlakukan sebagai halnya ‘ajnabi’(seseorang yang tidak terikat dalam mahram), hanya saja ia tidak boleh dinikahi secara bersama-sama. Yakni, adik dan kakak keduanya dinikahi (jam’u baina ukhtaini, -penj)

Sesungguhnya mahram (hakiki atau abadi) itu disebabkan nasab, dan lantaran hal yang mubah. Maksud karena nasab yaitu karena keturunan karib kerabat. Sedang maksud karena yang mubah yaitu karena kekeluargaan melalui perkawinan atau persusuan.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. An-Nisa : 22 -23

”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan(yang ditempuh)”.(22)

”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudarmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudra perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu(mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak ada dosa kamu mengawininya, dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu (menantu).Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (23)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

”Artinya : Jangan kamu sekalian masuk ke dalam (ruang) wanita. Mereka
bertanya, ”Ya Rasulullah bagaimana dengan saudara ipar?”. Rasulullah
menjawab, ”Saudara ipar adalah kematian”
[Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir no. 2677].



Berdasarkan ini, maka kami katakan kepada saudari penanya, bahwa temannya yang bincang-bincang dengan iparnya dengan tanpa memakai hijab, dan ia menyatakan, bahwa antara dia dan iparnya adalah ‘mahram muaqat’ (mahram sementara), sesungguhnya perkataan itu salah.

Mahram disini bukanlah mahram sementara, karena yang dilarang/diharamkan adalah mengumpulkan istri dari dua bersaudara seperti firman Allah di atas. Dan bukan yang diharamkan untuk menikahi saudara istri sebagaimana difahami oleh teman penanya.Wallahu’alam bishshawwab.

[Diringkas dan di edit dari majalah As-Sunnah, edisi 18/II/1417-1996, hal 50 - 55. terjemahan dari kitab Fatawa Al-Usrati wa Khoshotan Al-Mar'ah. Dan untuk lebih jelas dan lengkapnya pembahasan (karena bahasannya sangat luas)silakan untuk merujuknya]

wallahu a'lam

*)salam_sitijamilahamdi

dari berbagai sumber...

0 komentar

Recent Readers