Tampilkan postingan dengan label adab islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adab islami. Tampilkan semua postingan


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri]

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).

SYARAH HADITS

Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu 'anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.



Bismillahirrohmanirrohim,
Sungguh dalam diri R asulullah terdapat sebaik-baik teladan bagi seluruh ummat manusia. Sebagai kelanjutan dari Ibadah Romadhon kali ini kembali saya catat penjelasan-penjelasan Ulama tentang bagaimanaRasulullah melaksanakan Hari Raya. Catatan ini diambil dari hasil jerih payah Al Akh Abu Ayaz Rostiyan yang me-retype sebagian dari beberapa kitab ulama terkait Hari Raya di Notes nya.

JANGAN PERNAH MERASA MISKIN.........

Diposting oleh fajar islami | 11.51 | | 0 komentar »


Banyak orang ngeri mendengar kata miskin. Membayangkan saja pun tidak ingin. Dan setiap kali kata itu terucap, kesan umum yang terbayang adalah kesengsaraan, papa, compang-camping dan kesempitan hidup. Sebaliknya kata kaya membuat orang sumringah dan bergairah.Terlintas di dalam benak berbagai kesenangan hidup dan kemewahan. Hidup serba cukup dengan berbagai fasilitas dan kemudahan akses. Pendek kata, hidup benar-benar hidup.

Dua keadaan di atas adalah lumrah dan manusiawi. Pada dasarnya manusia memiliki hasrat untuk hidup berkecukupan dan amat takut akan kekurangan apalagi kemiskinan. Tetapi, miskin sama sekali berbeda dengan merasa miskin. Sama halnya berbeda antara kaya dengan merasa kaya.

KEGEMBIRAAN ORANG YANG BERPUASA......

Diposting oleh fajar islami | 14.46 | | 0 komentar »

Dari Abu Hurairah, Rasulullashallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
قَالَ رَسُوْلُ الله صلي الله عليه وسلم كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

DOA MENYONGSONG BULAN BARU.....

Diposting oleh fajar islami | 07.30 | | 0 komentar »


Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabat, serta yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba’du:

Kekeliruan Dalam Menyambut Ramadhan....

Diposting oleh fajar islami | 15.59 | | 0 komentar »

Sebentar lagi kita kedatangan tamu dari Allah yang mulia, pasti kita sebagai orang Islam bergembira dalam menyambutnya, namun kita tetap harus memperhatikan ketentuan syariat dengan menjauhi kekeliruan menyambut bulan tersebut.
Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.

1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua

Menjadi Pribadi yang Cerdas Imani....

Diposting oleh fajar islami | 12.16 | | 0 komentar »





Menyikapi orang bodoh tentu berbeda dengan menyikapi orang cerdas, orang cerdas ketika diperingatkan dari sesuatu tentu paham walaupun dengan isyarat, sedangkan orang bodoh kadang walaupun dengan beribu-ribu kata dia tetap tak paham, apalagi sekedar dengan isyarat.

Pernah suatu hari saya masbuk (tertinggal) dalam shalat jamaah. Ketika imam salam, tentu saja saya berdiri lagi untuk menyempurnakan rakaat shalat yang tersisa. Ketika sampai di duduk tahiyyat, tiba-tiba makmum yang ada disamping saya ingin lewat di depan saya. Saya halangi dengan tangan karena mengamalkan hadits nabi,“Jika salah seorang diantara kalian shalat, hendaklah shalat menghadap sutrah(pembatas,apakah itu orang, tembok,dan semisalnya) dan hendaklah mendekat padanya dan jangan biarkan seorangpun lewat antara dia dengan sutrah. Jika ada seseorang lewat di depannya maka perangilah karena dia adalah syaithan.” (HR. Ibnu Majah)



Secara bahasa
isbal adalah diambil dari kata “Asbala izaarahu”, yang artinya “menjuraikannya”. Jika dikatakan “asbala fulanun tsiyabahu” artinya orang tersebut memanjangkan dan menjuraikan pakaiannya sampai ke tanah”.

Secara istilah
isbal adalah
(1) menjuraikan kain/celana sehingga ujung kain/celana harus diseret ketika berjalan
(2) menjuraikan dan melabuhkan pakaian hingga melewati batas yang telah ditetapkan dalam nash-nash syar’i, baik karena sombong atau tidak.

Apakah Isbal Permasalahan yang Sepele ?

Banyak diantara kaum muslimin yang meremehkan permasalahan yang satu ini, sebagian diantara mereka berkata “ah… kalian ini hanya berbicara masalah yang sepele, ini kan masalah furu’ (masalah cabang, bukan masalah pokok), gimana islam mau maju…”. Sama persis seperti perkataan beliau yang saya kutip di atas.

Saya katakan kepada beliau agar menyimak firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam islam secara kaffah” (QS. Al-Baqarah : 208).
Ibnu Katsir rohimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa “masuklah kalian ke dalam islam dan ta’atilah seluruh perintah-perintahnya”.

Al-Ausy rohimahullah berkata “makna (dari ayat tersebut) adalah “masuklah kalian ke dalam islam dengan seluruh dirimu, dan janganlah kamu biarkan sedikitpun, baik itu yang berhubungan dengan hal-hal yang lahir maupun yang batin melainkan berada dalam islam, sehingga tidak ada tempat bagi yang lain (dari selain islam)”.

Tidaklah pantas seorang muslim meremehkan suatu perkara di dalam agama ini, yang perkara tersebut adalah perkara yang besar. Saya bawakan salah satu kisah dari khalifah Umar bin Khattab rodhiallahu’anhu yang sangat masyhur yaitu ketika peristiwa terbunuhnya beliau,

Setelah Umar bin Khattab ditikam oleh seorang budak ketika mengimami sholat subuh berjama’ah di masjid, beliau segera dibawa kerumahnya dan para sahabat yang lain mengikuti beliau sampai kerumahnya. Setelah sampai dirumah beliau, para sahabat memberi beliau minuman nabidz dan beliau langsung meminumnya, namun minuman tersebut keluar kembali dari lubang tikaman diperutnya. Kemudian dibawakan kepadanya susu dan beliau meminumnya, namun susu tersebut juga keluar dari perutnya yang ditikam.

Tiba-tiba datang seorang pemuda dan berkata kepada beliau “Bergembirahlah wahai amirul mu’minin dengan berta gembira dari Allah untukmu, engkau adalah sahabat Rasulullah, pendahulu islam, engkau adalah pemimpin dan engkau berlaku adil, kemudian engkau diberikan Allah syahadah (mati syahid)”, Umar lalu menjawab “Aku berharap seluruh perkara yang engkau sebutkan tadi cukup untukku, tidak lebih ataupun kurang”. Tatkala pemuda itu berbalik ternyata pakaiannya terjulur hingga menyentuh lantai (isbal). Umar lantas memanggilnya dan berkata, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu sesungguhnya hal itu akan lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih menaikkan ketaqwaanmu kepada Rabbmu”, [Lihat Al-bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir].

Umar bin Khattab yang merupakan sahabat kibar menganggap perkara tersebut adalah perkara yang besar, bahkan ketika menjelang ajalnya beliau masih menyempatkan diri untuk menasehati seorang pemuda yang berpakaian isbal. Bagaimanakah dengan kita? apakah kita merasa lebih berilmu dan lebih taqwa dibandingkan Umar bin Khattab sehingga menganggap remeh permasalahan tersebut?

Dalil Larangan Berpakaian Isbal

Banyak sekali dalil yang mengharamkan berpakaian isbal baik dalam keadaan sombong atau tidak. Tercatat sebanyak 15 sahabat rasul yang meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan permasalahan isbal. Diantaranya adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, ‘Aisyah, Abu Sa’id Al-Khudry, Hudzaifah, Abu Umamah, Samurah bin Jundub, Al-Mughirah bin Syu’bah, Sufyan bin Sahl, ‘Ubaid bin Khalid, Jabir bin Sulaim, ‘Amru bin Syarid, ‘Amru bin Zarrah, Anas bin Malik, rodhiallahu’anhum. Begitu banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits mengenai larangan berpakaian isbal menandakan bahwa hadits-hadits tersebut saling menguatkan dan mencapai tingkatan mutawatir.

Berikut saya bawakan dalil mengenai haramnya berpakaian isbal :

(1)Diriwayatkan dari Ibnu Abbas rodhiallahu’anhu secara marfu’

“Segala sesuatu yang melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya adalah) di neraka” [Lihat Shahihul Jaami’ no. 4532].

(2)Dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, dari Nabi shollahu’alaihiwasallam, beliau bersabda,
“Segala sesuatu yang turun melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits Shahih di keluarkan oleh Bukhori no. 5787, Nasa’i 5331, Ahmad 9618)

(3)Dari ‘Aisyah rodhiallahu’anha dari Nabi shollahu’alaihiwasallam,

“Apa saja yang berada di bawah mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Ahmad)

(4)Dari Samurah bin Jundub rodhiallahu’anhu, lafaznya sama dengan hadits di atas.

(5)Dari Ibnu Umar rodhiallahu’anhu dia berkata Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda,

“Segala sesuatu yang dibalik (dibawah) mata kaki maka tempatnya di neraka”, [Lihat Shahihul Jaami’ no. 5618].

Hadits-hadits shahih di atas menyatakan bahwa ancaman isbal sangat berat yaitu diancam dengan neraka, dan ketahuilah bahwa kaidah ushul fiqh menyatakan “jika suatu dosa yang diancam dengan ancaman neraka maka hakekatnya itulah dosa besar”. Kaidah ini sudah ma’ruf dikalangan ushuliyyin. Berikut rincian kaidah suatu dosa dianggap dosa besar [Lihat Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Utsaimin, Darul Aqidah hal. 78] :

1. Setiap dosa yang ada padanya ancaman khusus (salah satunya ancaman neraka –pen), maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Dalam hal ini isbal dikategorikan kedalamnya.

2. Setiap dosa yang ada padanya hukuman hadd di dunia, maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Misalnya membunuh dan berzina.

3. Setiap dosa dimana nabi berlepas diri dari pelakunya, maka sesungguhnya itu adalah dosa besar. Misalnya tinggal di negeri kafir dan tidak mampu memperlihatkan syi’ar islam di negeri tersebut.

Selain dalil di atas, saya bawakan dalil larangan isbal secara mutlak :

(1) Dari Al-Mughirah bin Syu’bah rodhiallahu’anhu, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam,

“Wahai Sufyan bin Sahl janganlah kamu melakukan isbal, sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan isbal” [Hadits Hasan, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah 2876].

(2) Dari Jabir bin Sulaim rodhiallahu’anhu bahwasanya Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah bersabda kepadanya,

“…dan berhati-hatilah kamu terhadap isbalnya sarung (pakaian), karena sesungguhnya isbalnya sarung (pakaian) itu adalah bagian dari kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Lihat As-Shahihah 770].

Ingat kembali kaidah ushul yang menyatakan bahwa “larangan itu menunjukkan keharaman” atau “asal hukum larangan adalah menunjukkan keharaman”. Dan larangan pada hadits tersebut bersifat mutlak dan tidak bisa diingkari lagi.



Haram Melakukan Isbal Walaupun Tanpa Kesombongan

Sebagian manusia mengatakan “tidak apa-apa isbal asal tidak dengan kesombongan”. Mereka berdalil dengan Hadits Ibnu Umar, beliau rodhiallahu’anhu berkata :

“Aku pernah masuk menemui Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan ketika itu pakaianku berbunyi (karena terseret-seret ketanah -pen) maka beliau bertanya ‘siapakah ini ?’ jawabku ‘Abdullah bin Umar’, beliau bersabda ‘jika engkau Abdullah (hamba Allah -pen) maka angkatlah pakaianmu’, maka akupun mengangkatnya, beliau bersabda ‘tambah lagi (angkat lebih tinggi lagi –pen)’, kata Ibnu Umar ‘maka akupun mengangkatnya hingga mencapai setengah betis’, begitulah keadaan pakaiannya hingga ia meninggal dunia.

Kemudian beliau menoleh ke Abu Bakar, lalu bersabda ‘barang siapa yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat’, maka Abu Bakar berkata ‘sesungguhnya pakaianku sering turun’, lalu Rasulullah bersabda ‘kamu tidak termasuk dari mereka’, (dalam riwayat yang lain dinyatakan ‘kamu bukan orang yang melakukannya dengan sombong’)”. [Dikeluarkan oleh Ahmad, Abdurrazzaq dan yang lainnya. Syaikh Al-Albany mengatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim, Lihat As-Shahihah 4/95).

Ketahuilah bahwa dalil di atas justru juga digunakan oleh para ulama akan keharaman isbal. Maka Hadits di atas sebenarnya bukan hujjah buat mereka yang berpendapat demikian, akan tetapi justru merupakan hujjah untuk membantah mereka. Ketika mengomentari hadits tersebut Syaikh Al-Albani mengatakan :
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang jelas bahwasanya wajib bagi setiap muslim untuk tidak memanjangkan pakaiannya sampai di bawah mata kaki akan tetapi hendaklah dia mengangkatnya ke atas kedua mata kaki sekalipun hal tersebut dilakukan dengan tidak disertai sombong.

Dalam hadits ini pula terdapat bantahan yang jelas terhadap para masyayikh yang memanjangkan ujung jubah-jubah mereka sampai hampir-hampir menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa mereka meninggalkannya demi mengikuti perintah Rasulullah sebagaimana yang beliau perintahkan kepada Ibnu Umar ? Ataukah mereka merasa lebih suci hatinya daripada Ibnu Umar ?” [Lihat As-Shahihah 4/95 oleh Al-Albani].

Saya bawakan perkataan Syaikh Utsaimin dalam permasalahan tersebut, bahwa hadits tersebut tidak tepat dijadikan hujjah dipandang dari 2 sisi :

(1) Perkataan Abu Bakar rodhiallahu’anhu “Sesungguhnya salah satu dari ujung kainku sering turun, kecuali jika aku menjaganya” (lihat Ghayatul Maraam no. 90 -pen). Dengan demikian jelaslah bahwa Abu Bakar memang tidak sengaja menurunkan pakaiannya karena bermaksud sombong, akan tetapi pakaiannya turun dengan sendirinya namun ia selalu menjaganya, (bandingkan dengan orang-orang yang memang sengaja menurunkan celananya dan menganggap remeh permasalahan ini, apakah mereka merasa lebih baik dari Abu Bakar -pen).

(2) Bahwasanya Abu Bakar telah mendapat rekomendasi dari Rasulullah dan beliau menyadarinya bahwa Abu Bakar bukan orang yang melakukannya dengan maksud sombong. Maka apakah orang-orang yang menurunkan celana dengan sengaja apakah sudah mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah?.

Syaikh Bin Baz mengomentari hadits tersebut “…sebab dia (Abu Bakar) tidak sengaja memanjangkannya, (yang terjadi pada keadaan seperti ini) hanya bahwa pakaiannya sendiri yang suka turun, namun dia selalu mengangkat dan menjaganya, yang demikian ini tidak dapat dipungkiri akan keudzurannya. Adapun orang yang memang sengaja menurunkannya baik itu celana, sarung atau baju, maka ia terkena ancaman, dan perbuatannya itu tidak termasuk udzur. Sebab hadits-hadits shahih yang melarang tentang isbal ini telah mengenai dirinya, baik secara lafaz maupun secara makna dan maksudnya…”.

Terdapat hadits lain yang menegaskan permasalahan ini, yaitu hadits dari Abu Umamah rodhiallahu’anhu dimana dia berkata,

“Tatkala kami bersama Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tiba-tiba kami disusul oleh Amru bin Zarrah Al-Anshari dengan memakai hiasan sarung dan mantel yang isbal, maka Rasulullah mengambil ujung pakaiannya dan bertawadhu’ kepada Allah lalu berkata, ‘Hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu dan anak hamba perempuanmu’, sampai di dengar oleh Amru lalu ia berkata ‘wahai Rasulullah sesungguhnya aku ini mempunyai betis yang kurus’, maka Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah telah memperindah setiap ciptaan-Nya, wahai Amru sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang isbal” [Hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dan derajatnya hasan).

Ketika mengomentari hadits ini Ibnu Hajar rohimahullah berkata “Dhohir hadits tersebut menunjukkan bahwa Amru tidak bermaksud melakukan isbal karena sombong. Namun demikian dia telah dilarang oleh Rasulullah untuk melakukannya, sebab pada isbal itu terdapat kesombongan” [Lihat Fathul Baari 10/264].

Membawa Mutlak Kepada Muqoyyad

Ada juga sebagian manusia yang membantah bahwa nash-nash yang datang secara muthlak mengenai larangan isbal tersebut harus di muqoyyadkan pada lafaz “karena sombong”, dan mereka mengatakan bahwa membawa dalil mutlak kepada dalil muqoyyad itu wajib hukumnya. Kaidah tersebut memang benar, akan tetapi salah dalam penerapannya. Mari kita bawa ke kaidah ushul fiqh, dan sebelumnya saya bawakan 3 hadits berkenaan dengan syubhat tersebut.

(1) Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda,

“Barangsiapa yang menurunkan pakaiannya (dibawah mata kaki) karena sombong, niscaya Allah tidak akan memandang kepadanya (Hadits shahih dikeluarkan Bukhori 3665, 5784, Muslim 2085, Tirmidzi 1730, Ahmad 5337 dari hadits Ibnu Umar ).

(2) Dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau bersabda,

“Segala sesuatu yang turun melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits Shahih di keluarkan oleh Bukhori no. 5787, Nasa’i 5331, Ahmad 9618)

(3) Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda,

“Ada tiga (golongan manusia) yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat dan mereka tidak akan diperhatikan dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih ; orang yang melakukan isbal, tukang adu domba, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Muslim 106, Abu Dawud 4087 dari hadits Abu dzar rodhiallahu’anhu).

Syaikh Utsaimin menjelaskan ketiga hadits di atas :

Hadits 1 dan hadits 3 dapat dimuqoyyadkan karena hukumnya sama yaitu bahwa pelakunya tidak dipandang oleh Allah (pada hari kiamat), walaupun sebabnya berbeda, pada hadits 1 isbal dengan sombong dan pada hadits 3 hanya dikatakan pelaku isbal tanpa disertai lafaz sombong. Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab berbeda akan tetapi hukumnya sama maka bisa dimuqoyyadkan”. Jadi kita katakan bahwa isbal yang dimaksud pada hadits 3 tersebut adalah isbal dengan kesombongan (dikaitkan dengan hadits 1). Akan tetapi pada hadits 2 terdapat pengecualian karena hukumnya berbeda (diancam dengan neraka) maka kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab sama akan tetapi hukumnya berbeda” maka tidak bisa di muqoyyadkan, [Lihat Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Ustaimin, Darul Aqidah, hal. 109-110].

Dari kaidah tersebut dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya isbal itu jika dilakukan dengan maksud menyombongkan diri maka hukumannya adalah : pelakunya tidak dipandang oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah, dan tidak akan disucikan, serta baginya siksaan yang pedih. Adapun jika dilakukan tanpa bermaksud sombong, maka hukumannya adalah diazab apa yang turun melebihi mata kaki dengan api neraka. Dan banyak lagi hadits-hadits lain yang menguatkan keterangan ini. Apakah kita masih menganggap remeh permasalahan ini?

Melaksanakan sunnah Rasul ini sangat mudah dan tidak sulit. Kita TIDAK diwajibkan harus memakai jubah arab, gamis pakistan atau yang lainnya, akan tetapi pakaian seorang muslim itu disesuaikan dengan urf (adat istiadat dan budaya setempat) dengan syarat harus sesuai syari’at (seperti menutup aurat dan tidak isbal). Jika di negeri kita sudah umum memakai celana panjang, maka itulah urf masyarakat kita. Rasulullah memberi keringanan dalam masalah isbal, yaitu tidak boleh melewati kedua mata kaki (walaupun yang lebih utama adalah sebatas pertengahan betis) dan mudah sekali bagi kita untuk memotong sedikiiiit saja ujung celana kita agar tidak melewati kedua mata kaki, tentu tidak sulit bukan…?

Bagaimanakah Dengan Isbal Wanita ?

Seorang wanita pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pernah bertanya kepada Ummu Salamah rodhiallahu’anha, ‘Sesungguhnya aku memanjangkan ujung pakaianku sedangkan aku berjalan di tempat yang kotor’, maka Ummu Salamah menjawab ‘telah bersabda Rasulullah ‘dia akan dibersihkan oleh tanah yang berada sesudahnya’ (Hadits shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya).
Dalam perkara isbal, maka para wanita dibedakan dari para laki-laki sebab wanita membutuhkan untuk menutup auratnya (seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan). Sesuai dengan sabda Rasul “Wanita itu adalah aurat” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya).

Pakaian wanita tidak boleh melewati mata kakinya lebih dari satu siku, apabila pakaian wanita melewati mata kakinya lebih dari satu siku maka haram hukumnya bagi mereka. Ketentuan ini sesuai dengan hadits Ummu Salamah mengenai pertanyaan beliau kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam “Lalu bagaimana dengan kaum wanita yang berbuat terhadap ujung-ujung (pakaian) mereka ?, lalu Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda “Hendaklah mereka memanjangkannya satu jengkal”, Ummu Salamah berkata “Kalau begitu akan terlihat kaki-kaki mereka”, Rasulullah menjawab “panjangkanlah satu siku, dan jangan lebih dari itu”, (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Penutup

Bahkan ketika dalil demi dalil dikeluarkan satu persatu, ternyata masih ada juga yang menolak perkara haramnya melakukan isbal. Diantaranya menyatakan bahwa “dalam Al-Qur’an gak ada dalilnya tuh!”, padahal Rasulullah sudah menyatakan yang kira-kira arti secara maknanya adalah “kepada saya diturunkan Al-Qur’an dan yang semisal dengannya (Hadits/Sunnah –pen)”, maka apakah kita masih mencari-cari dalih untuk menolak apa-apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya?

Hak-hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg hrs dipenuhi oleh umat Islam ialah taat kpdnya, menjauhkan semua larangan dan beribadah kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn mengikuti (ittiba’) yg dicontohkannya. Karena beliau diutus untuk ditaati dan diteladani.

“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayg. [Ali Imran : 31]

“Sesungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yg baik bagimu (yaitu) bagi orang yg mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [Al-Ahzab : 21]

Semoga dengan risalah ringkas ini semakin memantapkan kita dalam mengamalkan apa-apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mengagungkannya serta tidak menganggap remeh suatu perkara agama. Hanya kepada Allah kita meminta petunjuk… Wallahu a'lam,

salam_sitijamilahamdi


Referensi :

(1) Al-isbal Liqhoiri Al khuyalaa’, Walid bin Muhammad Nabih
(2) Isbaal ats Tsiyaab Baina Al I’jaab Wa Al I’qoob, Abdullah bin ‘Abdul Hamid
(3) Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir
(4) Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Ustai

La-isbal


Dalam mengarungi kehidupan pastilah seseorang akan mengalami pasang surut. Kadang seseorang mendapatkan nikmat dan kadang pula mendapatkan musibah atau cobaan. Semuanya datang silih berganti. Kewajiban kita adalah bersabar ketika mendapati musibah dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat Allah. Berikut adalah beberapa kiat yang bisa memudahkan seseorang dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan.

Pertama: Mengimani takdir ilahi

Setiap menghadapi cobaan hendaklah seseorang tahu bahwa setiap yang Allah takdirkan sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi pastilah terjadi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[1]

Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang semakin ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” [2]

Kedua: Yakinlah, ada hikmah di balik cobaan

Hendaklah setiap mukmin mengimani bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti ada hikmah di balik itu semua, baik hikmah tersebut kita ketahui atau tidak kita ketahui.[3] Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ (116)

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun: 115-116)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (38) مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq.” (QS. Ad Dukhan: 38-39)

Ketiga: Ingatlah bahwa musibah yang kita hadapi belum seberapa

Ingatlah bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendapatkan cobaan sampai dicaci, dicemooh dan disiksa oleh orang-orang musyrik dengan berbagai cara. Kalau kita mengingat musibah yang menimpa beliau, maka tentu kita akan merasa ringan menghadapi musibah kita sendiri karena musibah kita dibanding beliau tidaklah seberapa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لِيَعْزِ المسْلِمِيْنَ فِي مَصَائِبِهِمْ المصِيْبَةُ بي

Musibah yang menimpaku sungguh akan menghibur kaum muslimin.[4]

Dalam lafazh yang lain disebutkan,

مَنْ عَظَمَتْ مُصِيْبَتُهُ فَلْيَذْكُرْ مُصِيْبَتِي، فَإِنَّهَا سَتَهَوَّنُ عَلَيْهِ مُصِيْبَتُهُ

Siapa saja yang terasa berat ketika menghapi musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku. Ia tentu akan merasa ringan menghadapi musibah tersebut.[5]

Keempat: Ketahuilah bahwa semakin kuat iman, memang akan semakin diuji

Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.[6]

Kelima: Yakinlah, di balik kesulitan ada kemudahan

Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)

Ayat ini pun diulang setelah itu,

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6). Qotadah mengatakan, “Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi kabar gembira pada para sahabatnya dengan ayat di atas, lalu beliau mengatakan,

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.[7]

Keenam: Hadapilah cobaan dengan bersabar

'Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.

Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran.[8]

Yang dimaksud dengan bersabar adalah menahan hati dan lisan dari berkeluh kesah serta menahan anggota badan dari perilaku emosional seperti menampar pipi dan merobek baju.[9]

Ketujuh: Bersabarlah di awal musibah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى

Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.[10] Itulah sabar yang sebenarnya. Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal musibah.

Kedelapan: Yakinlah bahwa pahala sabar begitu besar

Ingatlah janji Allah,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.” As Sudi mengatakan, “Balasan orang yang bersabar adalah surga.”[11]

Kesembilan: Ucapkanlah “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un ...”

Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un. Allahumma'jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do'a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”[12]

Do'a yang disebutkan dalam hadits ini semestinya diucapkan oleh seorang muslim ketika ia ditimpa musibah dan sudah seharusnya ia pahami. Insya Allah, dengan ini ia akan mendapatkan ganti yang lebih baik.

Kesepuluh: Introspeksi diri

Musibah dan cobaan boleh jadi disebabkan dosa-dosa yang pernah kita perbuat baik itu kesyirikan, bid’ah, dosa besar dan maksiat lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30). Maksudnya adalah karena sebab dosa-dosa yang dulu pernah diperbuat.[13] Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Akan disegerakan siksaan bagi orang-orang beriman di dunia disebabkan dosa-dosa yang mereka perbuat, dan dengan itu mereka tidak disiksa (atau diperingan siksanya) di akhirat.”[14]

Semoga kiat-kiat ini semakin meneguhkan kita dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian dari Allah.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel:www,rumaysho.com

Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 25 Shofar 1431 H


[1] HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.

[2] Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.

[3] Lihat Syarh ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 151-153, Maktabah Ash Shofaa, cetakan pertama, tahun 1426 H.

[4] Shahih Al Jami', 5459, dari Al Qosim bin Muhammad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Disebutkan dalam Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu 'Abdil Barr, hal. 249, Mawqi' Al Waroq.

[6] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 24/496, Dar Hijr.

[8] Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu 'Abdil Barr, hal. 250, Mawqi' Al Waroq.

[9] Lihat ‘Uddatush Shobirin wa Zakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 10, Dar At Turots, cetakan pertama, tahun 1410 H.

[10] HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik.

[11] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/117, Muassasah Qurthubah.

[12] HR. Muslim no. 918.

[13] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/280, Muassasah Quthubah.

[14] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 20/514.





Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Banyak kata…keluar dari lisan kita. Tapi entah berapa yang mengeluarkan sepatah dua patah yang menambah bekal pahala di akhirat nanti. Ya saudariku…hanya sepatah dua patah kata…yang terasa ringan untuk diucapkan, mudah untuk dihafalkan, dan dapat menambah keimanan kita. Bukankah iman bertambah dan berkurang? Semoga kita tidak lupa untuk mengamalkan sunnah ini dan bersemangat untuk menghafalkan dan mengamalkan do’a dan dzikir lainnya (yang membutuhkan waktu untuk menghafalkan dan mengamalkannya) yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bismillah

Untuk lafadz yang satu ini, mungkin kita sendiri lupa entah kapan mulai mempelajarinya. Ternyata banyak saat-saat yang kita disunnahkan untuk mengluarkan lafadz ini. Yang pertama adalah saat hendak mulai makan. Hei…mungkin langsung ada yang bertanya-tanya, bukankah saat hendak makan doa yang dibaca “Allahumma bariklana…?”

Jawabnya, “Bukan saudariku.” Bahkan do’a tersebut tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hanya disebutkan dalam hadits yang lemah riwayat dari Ibnu Sunni. Cukup dengan ‘bismillah’. Maka setan tidak akan dapat ikut makan bersama kita.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‘Apabila seseorang masuk rumahnya dia menyebut Allah Ta’ala pada waktu masuknya dan pada waktu makannya, maka setan berkata kepada teman-temannya, ‘Kalian tidak punya tempat bermalam dan tidak punya makan malam.’ Apabila ia masuk tidak menyebut nama Allah pada waktu masuknya itu, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’, dan apabila ia tidak menyebut nama Allah pada waktu makan, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.’” (HR. Muslim)

Adapun jika kita terlupa membaca ‘bismillah’ di awal waktu kita makan, maka kita cukup membasa ‘bismillah awwalahu wa aakhirohu’ di saat kita ingat.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila salah seorang kamu makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala (bismillah -pen). Jika ia lupa menyebut nama Allah di awal makannya, maka hendaklah ia mengucapkan,

بِسْمِ اللهِ أوَّلَهُ وَ اخِرَهُ
(Dengan menyebut nama Allah pada awalnya dan pada akhirnya)’.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)

Kita juga disunnahkan membaca bismillah ketika kendaraan yang kita kendarai mogok. (HR. Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud III/941)

Subhanallah

Alhamdulillah, dzikir yang satu ini pun sudah kita hafal sejak lama. Dzikir ini dapat kita amalkan setelah sholat sebanyak 33 kali (HR. Bukhari dan Muslim) atau kita dzikirkan pula sebelum tidur sebanyak 33 kali (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam satu riwayat lain, dibaca sebanyak 34 kali sebelum tidur. Lafadz ini juga disunnahkan untuk diucapkan ketika kita dalam perjalanan dengan kondisi jalan yang menurun (HR. Bukhari dalam al-Fath VI/135). Dapat pula kita ucapkan ketika kita sedang takjub dengan kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala (HR. Bukhari)

Adapula lafadz tasbih lainnya yang telah diajarkan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai berikut:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua kalimat yang ringan di lidah, berat dalam timbangan, dicintai Allah Yang Maha Pengasih, (yaitu),

سُبْحَانَ الله وَ بِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللهِ الغَظِيْمِ
ّ
“Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, maha suci Allah Yang Maha Agung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ucapan yang paling dicintai Allah adalah

سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِ هِ

(HR. Muslim)

Alhamdulillah

Lafadz ini adalah ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya dengan memberikan pujian kepada-Nya. Lafadz ini juga disunnahkan dibaca setelah sholat sebanyak 33 kali dan juga sebelum tidur 33 kali.

Setelah bersin, kita juga disunnahkan mengucapkan alhamdulillah atau alhamdulillah ‘ala kulli haal (HR. Bukhari). Nah, bagi yang mendengar lafadz alhamdulillah dari orang yang bersin, maka berikanlah do’a kepadanya, yaitu

يَر حَمُكَ اللّه

yarhamukallah
“Semoga Allah merahmatimu.”

Kalau sudah mendapat do’a ini, maka orang yang bersin tadi membaca

يَهْدِ يكُمُ اللّهُ و يُصلح بَالَ كُمْ


yahdikumullah wa yuslih baalakum’
“Semoga Allah memberi petunjuk dan memperbaiki keadaanmu.”

Keutamaan dzikir alhamdulillah dan dzikir subhanallah juga terdapat dalam hadits berikut,

“Dari Abu Malik al-Asy’ary dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bersuci adalah setengah iman, الحَمْدُ لِلَّهِ memenuhi timbangan, dan سُبْجَانَ اللّهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya) memenuhi antara tujuh langit dan bumi.”‘” (HR. Muslim)

Allahu Akbar

Sama seperti dua lafadz sebelumnya, lafadz ini juga disunnahkan dibaca setelah sholat dan sebelum tidur. Setelah shalat sebanyak 33 kali dan sebelum tidur sebanyak 33 kali (dalam riwayat lain 34 kali).

Lafadz Allahu Akbar juga sunnah diucapkan ketika melihat sesuatu yang menakjubkan dari ciptaan Allah (HR. Bukhari dalam al-Fath). Dan tahukah saudariku, ternyata lafadz ini juga termasuk dzikir yang sunnah diucapkan ketika dalam perjalanan dengan kondisi jalan yang menanjak. (HR. Bukhari dalam al-Fath VI/135)

Laa ilaha illallah

Alhamdulillah, kita semua tentu telah melafadzkan ini karena inilah salah satu pembeda antara muslim dengan kafir. Tentu saja pelafalan lafadz laa ilaha illallah harus disertai dengan keyakinan hati dan pemaknaan yang benar, bahwa tidak ada ilah atau sesembahan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang lafadz ini dalam haditsnya,

“Sebaik-baik dzikir adalah ada لا اله الا الله (tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah).” (HR. Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan.”)

Dan sungguh manis ganjaran orang yang yang melafadzkan dzikir ini, sebagaimana dijelaskan oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa mengucapkan laa ilaah illallah, maka ditanamkan baginya sebatang pohon kurma di Surga.” (HR. Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan.”)

Saudariku tentu juga mengetahui, pernah menjadi tren ‘latah’ yang menyebar di berbagai kalangan. Salah satu ciri latah ini adalah jika seseorang dikagetkan atau terkejut, maka akan keluar kata-kata yang tidak dia sadari. Atau bahkan ia bisa dikontrol oleh orang yang mengejutkannya sehingga berkata-kata atau bertingkah laku yang tidak-tidak. Padahal untuk urusan yang terlihat kecil ini, ternyata telah pula diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang terkejut disunnahkan untuk mengucapkan lafadz ‘laa ilah illallah’. (HR. Bukhari dalam Fathul Baari VI/181 dan Muslim IV/22208)


Masya Allah

Yang satu ini, seringkali penulis dengar dilafalkan bukan pada tempatnya. Masya Allah memiliki makna “Atas kehendak Allah”. Lafadz ini diucapkan ketika kita takjub melihat kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, baik berupa harta, kondisi fisik atau yang lainnya. Dalam surat Al Kahfi, terdapat tambahan,

“Masya Allah laa quwwata illa billah”

“Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah.”

Lafadz ini juga berkaitan dengan penyakit ‘ain. Dengan melafadzkan “Masya Allah” ketika kita mengaggumi kelebihan yang dimiliki orang lain, diharapkan orang tersebut tidak terkena penyakit ‘ain disebabkan pandangan kita. Karena penyakit ‘ain ini dapat terjadi baik kita sengaja ataupun tidak.

Nah…yang sering menarik pandangan seseorang adalah tingkah dan fisik anak kecil yang menggoda. Pipinya yang lucu, matanya yang nakal dan lain sebagainya. Lalu datanglah pujian dari sanak, saudara atau teman sekitar kita. Namun kita mungkin lupa, bahwa anak juga merupakan anugrah yang dapat terkena ‘ain. Maka, ingatkanlah orang-orang sekitar untuk mengucapkan masya Allah ketika memberikan pujian kepada anak kita. Begitupula dengan kita sendiri ketika memuji anak atau benda milik seseorang, maka ucapkanlah ‘masya Allah’ ini.


Astaghfirullah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pujian yang paling tinggi adalah la ilaha illallah, sedangkan doa yang paling tinggi adalah perkataan astaghfirullah. Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesakan Allah dan memohon ampunan bagi diri sendiri dan bagi orang-orang mukmin.”

Memohon ampunan dengan lafadz ini sunnah diucapkan sebanyak 3 kali setelah selesai salam dari sholat wajib. Kita juga dapat memohon ampunan sebanyak-banyaknya, sebagaimana banyak ayat Al-Qur’an menunjukkan hal ini. Begitupula dari contoh perbuatan Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam (padahal beliau sudah diampuni dosanya yang telalu lalu dan akan datang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar memohn ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)

Kita sebagai wanita juga diperintah untuk memperbanyak istighfar, sebagaimana dalam hadits berikut,

“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar, karena sesungguhnya aku melihat kalian adalah kebanyakan penghuni neraka!”

Seorang wanita dari mereka bertanya, “Wahai Rasululllah, mengapa kami menjadi kebanyakan penghuni neraka?”

Beliau menjawab, “Kalian terlalu banyak melaknat dan ingkar (tidak bersyukur) terhadap (kebaikan) suami, aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya bisa mengalahkan lelaki yang berakal kecuali kalian.”

Ia bertanya, “Apa maksudnya kurang akal dan agama?”

Beliau menjawab, “Persaksian dua orang wanita sama dengan seorang laki-laii dan wanita berdiam diri beberapa hari tanpa shalat.”
(HR. Muslim)

Ini adah lafadz-lafadz dzikir yang ringan di lidah dan mudah untuk dihafal dan diamalkan, insya Allah. Semoga yang ringan ini juga menjadi pemicu untuk menghafal dan mempraktekkan do’a dan dzikir-dzikir lain yang lebih panjang. Barakallahufikunna.

Maraji’:
Hisnul Muslim (terj), Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, at-Tibyan
Istighfar (terj), Ibnu Taimiyah, Darul Falah, cetakan pertama 2002 M
Riyadus Shalihin, Jilid 1 (terj), Imam Nawawi dengan tahkik Syaikh Nashiruddin al-Albani, Duta Ilmu, cetakan kedua 2003
Riyadus Shalihin, Jilid 2 (terj), Imam Nawawi dengan tahkik Syaikh Nashiruddin al-Albani, Duta Ilmu, cetakan kedua 2003

***


02 April 2010 jam 5:01



Oleh Drs. Ahmad Yani, Ketua LPPD Khairu Ummah

Ungkapan-ungkapan Nabi, para sahabat dan ulama, seringkali kita rasakan kedalaman maknanya yang amat berguna bagi kita bila kita menghayatinya. Salah seorang sahabat Nabi, bahkan menjadi menantu beliau yang kata-katanya mengandung hikmah yang dalam adalah Ali bin Abi Thalib.

Beliau mengatakan seperti yang dikutif oleh Imam Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Nashaihul Ibad:


أَرْبَعُ أَشْيَاءَ قَلِيْلُهَا كَثِيْرٌ: أَلْوَجَعُ وَالْفَقْرُ وَالنَّارُ وَالْعَدَاوَةُ

Empat hal yang sedikitnya terasa banyak, yaitu: sakit, fakir, api dan rasa permusuhan

Dari ungkapan Ali di atas, ada empat hal yang meskipun sedikit, tapi dirasakan oleh manusia sebagai sesuatu yang banyak. Karenanya hal ini harus kita waspadai agar kita menyikapinya secara wajar dan proporsional.

1. Sakit

Setiap orang pasti pernah merasakan sakit, sesehat dan sekuat apapun dia. Bermacam penyakit menyerang manusia, mulai dari yang ringan sampai penyakit berat, bahkan penyakit yang selama ini dianggap ringan telah menjadi sesuatu yang amat berat dan menakutkan.

Kondisi jasmani yang sakit, meskipun tidak begitu berat terasa sebagai sesuatu yang berat karena seseorang menjadi terhambat untuk melakukan berbagai aktivitas yang biasa dilakukannya, misalnya sakit gigi menyebabkan seseorang tidak bisa melakukan aktivitas, padahal yang sakit hanya satu atau dua gigi saja, sakitnya sedikit tapi terasa banyak, begitu pula dengan orang yang sakit kepala seperti pusing, iapun tidak bisa melakukan aktivitas, begitulah seterusnya.

Oleh karena itu, sebagai muslim keadaan sakit harus disikapi secara positif meskipun tetap harus berdoa dan berusaha agar sembuh. Hal ini karena sakit juga memberi nilai keutamaan yang besar seperti menghapus dosa, Rasulullah saw bersabda:

مَايُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَسَقَمٍ وَلاَحَزَنٍ حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُهَا إِلاَّ كُفِّرَبِهَا مِنْ خَطَايَاهُ.

Tiada seorang mu’min yang rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya (HR. Bukhari).

Selain itu, orang yang sakit juga akan tetap mendapatkan pahala dari amal yang biasa dilakukannya, karena ia tidak beramal bukan karena tidak mau, tapi karena tidak memungkinkan dengan sebab kondisinya yang sakit, Rasulullah saw bersabda:

إِذَامَرِضَ الْعَبْدُ أَوْسَفَرَكُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَاكَان يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا

Apabila salah seorang hamba sakit atau bepergian (safar), maka Allah mancatat pahalanya seperti pahala amal yang dikerjakannya sewaktu ia sehat atau tidak bepergian (HR. Bukhari).

'Sedikit'-nya akan terasa 'banyak'.... (apakah itu..? pingin tahu 'kan, yuukk baca.....)

(utk baca catatan klik:lihat foto/catatan.. huruf BIRU)

2. Kemiskinan.

Kekurangan harta yang menyebabkan seseorang disebut miskin merupakan salah satu bentuk ujian yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt: Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS Al Baqarah [2]:155}.

Manakala kita tidak menyikapi dengan penuh kesabaran, maka kemiskinan yang tidak seberapa itu, bahkan seseorang belum tergolong miskin tapi hanya sedikit hartanya yang berkurang, maka ia sudah merasa sebagai sesuatu yang berat sehingga selalu berkeluh kesah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati ada orang yang banyak harta tidak bercerita tentang hartanya yang banyak itu, tapi ketika hartanya berkurang meskipun hanya sedikit sudah bercerita kemana-mana.

Disinilah letak pentingnya selalu ingat kepada Allah swt dalam kaitan harta agar kita selalu menjadi orang yang pandai bersyukur, meskipun sedikit yang kita peroleh, karena dengan bersyukur akan terasa banyak yang kita dapatkan, meskipun jumlahnya sedikit, bahkan bisa jadi jumlahnya memang akan ditambah menjadi lebih banyak, Allah swt berfirman: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS Ibrahim [14]:7).

3. Api

Sifat api adalah panas dan membakar, karena itu meskipun api sangat kecil, panas tetap terasa besar sehingga ketika seseorang tersulut api yang kecil, maka secara refleks ia akan menjauhkan anggota tubuhnya yang tersulut api itu, dan kebakaran seringkali terjadi dari api yang kecil hingga membakar begitu banyak bangunan, pemukiman bahkan hutan.

Bila api yang ada di dunia ini saja sudah sedemikian panas, apalagi bila api neraka yang panasnya tidak terkira. Karenanya, ketika ada sahabat yang meminta penjelasan kepada Nabi Muhammad saw tentang panasnya api neraka, maka beliau bersabda:


نَارُكُمْ هَذِهِ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِيْنَ جُزْأً مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ لِكُلِّ جُزْءٍ مِنْهَا حَرُّهَا

Apimu (yang kamu semua menyalakannya di dunia) ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panasnya neraka jahanam, setiap bagian sama suhu panasnya dengan api di dunia ini (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).


4. Permusuhan.

Al ghadhab atau marah merupakan salah satu sifat yang sangat berbahaya sehingga ia telah menghancurkan manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Dari kemarahan muncul kebencian dan berlanjut pada permusuhan. Menskipun faktor yang menyebabkan kebencian dan permusuhan itu kecil, bahkan seringkali hanya persoalan sepele, tapi permusuhan atau kebencian yang kita tunjukkan begitu besar hingga bersikap dan bertindak yang tidak benar dengan mengabaikan prinsip keadilan dalam berhubungan kepada orang lain, ini merupakan sesuatu yang harus diwaspadai.

Allah swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Maidah [5]:8).

Kemarahan kita kepada orang lain harus kita waspadai karena ada beberapa bahaya yang merugikan kita sendiri,

Pertama, merusak iman,
karena semestinya bila seseorang sudah beriman dia akan memiliki akhlak yang mulia yang salah satunya adalah mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak mudah marah dan bermusuhan kepada orang lain, Rasulullah saw bersabda:


اَلْغَضَبُ يُفْسِدُ اْلاِيْمَانَ كَمَا يُفْسِدُ الصَّبْرُ الْعَسَلَ

Marah itu dapat merusak iman seperti pahitnya jadam merusak manisnya madu (HR. Baihaki).

Kedua, mudah mendapatkan murka dari Allah swt terutama pada hari kiamat, karena itu pada saat kita hendak marah kepada orang lain mestinya kita segera mengingat Allah sehingga tidak melampiaskan kemarahan dengan hal-hal yang tidak benar, Allah swt berfirman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Qudsi:


يَابَنِى اَدَمَ اُذْكُرْنِى حِيْنَ تَغْضَبُ اُذْكُرُكَ حِيْنَ اَغْضَبُ

Wahai anak Adam, ingatlah kepada-Ku ketika kamu marah. Maka Aku akan mengingatmu jika Aku sedang marah (pada hari akhir).

Ketiga, menyulut kemarahan orang lain sehingga hubungan kita kepada orang lain bisa menjadi renggang bahkan terputus sama sekali. Oleh karena itu, seseorang baru disebut sebagai orang yang kuat ketika ia mampu mengendalikan dirinya pada saat marah sehingga kemarahan itu dalam rangka kebenaran bukan dalam rangka kebathilan, Rasulullah Saw bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالسُّرْعَةِ وَاِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

Orang kuat bukanlah yang dapat mengalahkan musuh, namun orang yang kuat adalah orang yang dapat mengontrol dirinya ketika marah (HR. Bukhori dan Muslim).

Apabila seseorang mampu menahan amarahnya, maka dia akan mendapatkan nilai keutamaan yang sangat besar dari Allah swt, dalam hal ini Rasulullah saw menjelaskan di dalam sabdanya:


مَا جَرَعَ عَبْدٌ جَرَعَةً اَعْظَمَ اَجْرًا مِنْ جُرْعَةِ غَيْظٍ كَظَمَهَا اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى

Tiada tegukan yang ditelan seorang hamba yang lebih besar pahalanya daripada tegukan kemarahan yang ditahannya semata-mata karena Allah ta’ala (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Dengan demikian, empat perkara yang disebutkan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib menjadi amat penting untuk selalu kita tempatkan pada proporsi yang sebenarnya..




Tiga Ucapan untuk Tiga Kondisi.........(Alhamdulillah, Astaghfirlah, la haula wala quwwata ila billahil 'aliyyil 'adziim)
Hidup di dunia bagi seorang mukmin merupakan daftar panjang menghadapi aneka ujian yang datang dari Allah Sang Pencipta Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Terkadang hidup diwarnai dengan kondisi suka dan terkadang dengan kondisi duka. Seorang mukmin tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Allah ketika sedang diuji dengan kesulitan hidup. Ia selalu berusaha untuk tetap bersabar manakala ujian duka melanda hidupnya. Sebaliknya seorang mukmin tidak bakal lupa bersyukur tatkala sedang diuji dengan karunia kenikmatan dari Allah. Demikian indah dan bagusnya respon seorang mukmin menghadapi aneka ujian hidup sehingga Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengungkapkan ketakjuban beliau.

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ

ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ

خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)

Bahkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita agar memberikan respon yang sesuai untuk setiap kondisi ujian yang sedang datang kepada diri seorang mukmin. Dalam hadits di bawah ini sekurangnya Nabi mengajarkan tiga jenis ucapan berbeda untuk merespon tiga jenis kondisi ujian yang menghadang seorang mukmin dalam hidupnya di dunia.

من أنعم الله عليه بنعمة فليحمد الله ومن استبطأ الرزق

فليستغفر الله ومن حزبه أمر فليقل لا حول ولا قوة إلا بالله

”Barangsiapa dikaruniai Allah kenikmatan hendaklah dia bertahmid (memuji) kepada Allah, dan barangsiapa merasa diperlambat rezekinya hendaklah dia beristighfar kepada Allah. Barangsiapa dilanda kesusahan dalam suatu masalah hendaklah mengucapkan "Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim."
(Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)" (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii')

Pertama, saat menghadapi kondisi memperoleh kenikmatan. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin diharuskan mengucapkan pujian bagi Allah, yaitu mengucapkan Alhamdulillah.

Sebab dengan dia mengucapkan kalimat yang menegaskan kembali bahwa segala karunia berasal hanya dari Allah, maka berarti ia menutup segala celah negatif yang bisa jadi muncul dan diolah setan, yaitu menganggap bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah karena kehebatan dirinya dalam berprestasi. Setan sangat suka menggoda manusia dengan menanamkan sifat ’ujub atau bangga diri bilamana baru meraih suatu keberhasilan atau kenikmatan. Manusia dibuat lupa akan kehadiran Allah yang pada hakekatnya merupakan sumber sebenarnya dari datangnya kenikmatan. Jika Allah tidak izinkan suatu kenikmatan sampai kepada seseorang bagaimana mungkin orang tersebut akan pernah dapat menikmatinya?

Sebenarnya dalam kehidupan di dunia kenikmatan Allah senantiasa tercurah kepada segenap hamba-hambaNya. Bahkan jumlah nikmat yang diterima setiap orang selalu saja jauh melebihi kemampuan orang itu untuk mensyukurinya. Jangankan kemampuan bersyukur seseorang melebihi nikmat yang ia terima dari Allah, bahkan sebatas mengimbanginya saja sudah tidak akan pernah sanggup. Maka, saudaraku, marilah kita lazimkan diri untuk sering-sering mengucapkan kalimat tahmid, baik saat kita menyadari datangnya nikmat maupun tidak.

Kedua, saat merasa berada dalam kondisi rezeki sedang diperlambat. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin disuruh untuk banyak mengucapkan kalimat istighfar.

Kalimat istighfar berarti kalimat mengajukan permohonan agar Allah mengampuni dosa-dosa kita. Nabi Hud menyuruh kaumnya untuk beristighfar dan menjamin bahwa dengan melakukan hal itu, maka hujan deras bakal turun. Istilah ”hujan” di dalam tradisi ajaran Islam seringkali bermakna rezeki. Sehingga kaitannya menjadi sangat jelas. Orang yang sedang merasa rezekinya lambat atau seret kemudian ia beristighfar, maka ia sedang berusaha mengundang turunnya hujan alias rezeki dari Allah.

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

“Dan (Hud berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu." (QS Hud ayat 52)

Ketiga, kondisi sedang dilanda kesusahan dalam suatu masalah. Menghadapi kondisi seperti iniNabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh seorang mukmin untuk membaca kalimat Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim.

Kalimat ini sungguh sarat makna yang bermuatan aqidah. Bayangkan, kalimat ini bila diterjemahkan menjadi: Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Kalimat ini kembali mengingatkan kita akan pentingya kemantapan iman Tauhid seorang mukmin. Begitu si mukmin membaca kalimat tersebut dengan penuh pemahaman, penghayatan dan keyakinan, maka saat itu juga jiwanya akan meninggi dan berusaha menggapai kekuatan dan pertolongan Allah yang Maha Kuat lagi Maha Terpuji. Bila Allah telah mengizinkan kekuatan dan pertolonganNya datang kepada seseorang, maka masalah manakah yang tidak bakal sanggup diatasinya?

Oleh karena itu, sekali lagi kami tegaskan, Islam sangat mencela sikap ketergantungan seseorang kepada selain Allah saat menangani masalahnya. Hanya Allah tempat bergantung, tempat kembali dan tempat memohon pertolongan. Hanya Allah tempat kita ber-tawakkal. Malah seorang mukmin tidak boleh ber-tawakkal kepada dirinya sendiri.

ياَ حَيُّ ، يَا قَيُّومُ ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلِّهِ ،

وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ ، وَلَا إِلَى أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ

“Wahai Allah Yang Maha Hidup, wahai Allah Yang Senantiasa Mengurusi, tidak ada tuhan selain Engkau, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan, perbaikilah keadaan diriku seluruhnya dan jangan Engkau serahkan nasibku kepada diriku sendiri (walau) sekejap mata, tidak pula kepada seorang manusiapun.” (HR Thabrani 445)


Hukum Seputar ucapan "Jazakallahu Khaeran"

Ini adalah beberapa fatwa yang bermanfaat dari Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahulloh Ta ’a-la, menjawab beberapa pertanyaan setelah Beliau menjelaskan hadits Usamah bin Zaid radliallohu anhu bahwa Rasululloh Shallallohu alaihi wasallam bersabda:

من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ في الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khaer (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.”

(HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Berikut ini fatwa Al-Allamah Abdul Muhsin hafizhahulloh, semoga bermanfaat!

Pertanyaan 1:

sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan “jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan “sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?

Beliau menjawab:

Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do’a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido’akan dengan do’a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini. Namun jika seseorang menyebutkan do’a ini, bukan berarti bahwa melarang untuk menambah dari do’a tersebut. Namun beliaurRasulullah hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa. Sebab Rasul Shallallohu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a. Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.

Pertanyaan 2:

Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?

Beliau -hafidzahullohu- menjawab:
“Demi Allah ,kebaikan itu tidak ada batasnya,sedangkan kata seribu itu terbatas,sementara kebaikan tidak ada batasnya.Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”,seperti ungkapan mereka ini.Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.”

Pertanyaan 3: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga) ?

Beliau menjawab:

“tidak, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khaer” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu didoakan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan,juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazaakalallahu khaer” dan menyebut do’a tersebut secara nash,tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”
(transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah,kitab Al-Birr wa Ash-Shilah,nomor hadits:222).
(Diterjemahkan oleh Abu Karimah Askari bin Jamal)


Berikut ini transkrip dalam bahasa Arab:

يقول السائل : بعض الإخوة يتطرق فيزيد على (جزاك الله خيرا وزوجك بكرا) ونحو ذلك.أليس في هذا استدراك على قول النبي صلى الله عليه وسلم فإنه يقول ((فقد أبلغ في الثناء))

فأجاب :ولا حاجة بهذا الدعاء قد يكون ما يريد هذا الشيء الذي دعي به ,أي نعم قد يكون الإنسان الذي دعي بهذا أنه لا يريده .فالإنسان يدعو بالخير وكل خير يدخل تحت هذا العموم .فالإنسان يأتي بهذا الدعاء وليس معنى ذلك أن الرسول × نهى عن ذلك يعني لا يزيد على هذا وإنما أخبر أن هذا فيه إبلاغ بالثناء ,لكنه لو دعا له فقال: جزاك الله خيرا وبارك الله فيك وعوضك خيرا ما فيه بأس ,لأن الرسول × مامنع من الزيادة .لكن مثل هذه الزيادة التي قد تكون في غير محلها ,قد يكون صاحب المدعو له لا يريد هذا الشيء الذي دعي له به .

السؤال: والآخر يقول :يزيد البعض فيقول : جزاك الله ألف خير

فأجاب: والله الخير ليس له حد ,ليس له حد والألف هذا محدود,والخير بدون حد .لكن هذا مثل عبارات بعض الناس :ألف شكر شكر مثل ما يعبرون.لكن التعبير بهذا الذي جاء في هذا الحديث عام

السؤال: هل هناك دليل على أن الرد يكون بصيغة (وإياكم)؟

فأجاب: لا , الذي ينبغي أن يقول :(وجزاكم الله خيرا) يعنى يدعى كما دعا, وإن قال (وإياكم) مثلا عطف على جزاكم ,يعني قول (وإياكم) يعني كما يحصل لنا يحصل لكم .لكن إذا قال: أنتم جزاكم الله خيرا ونص على الدعاء هذا لا شك أنها أوضح وأولى

(مفرغ من شريط دروس شرح سنن الترمذي ,كتاب البر والصلة ,رقم:222)


Kesalahan dalam menjawab ucapan 'jazakallah khairan'

Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut:

Asy Syaikh Muhammad 'Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya: Beberapa orang sering mengatakan "Amiin, waiyyaak" (yang artinya "Amiin, dan kepadamu juga") setelah seseorang mengucapkan "Jazakallahu khairan" (yang berarti "semoga ALLAH membalas kebaikanmu"). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?

Beliau menjawab:
Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan "Jazakalahu khairan," tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan "wa iyyaakum."

Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan "wa iyyaakum," setelah doa apapun, dan tidak berkata "Jazakallahu khairan," mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama).

Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta’ala ditanya: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?

Beliau menjawab:
“tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khair” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido'akan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazakalallahu khair” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”

Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi ditanya: Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?

Beliau menjawab:
Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.” Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.

Menjawab dengan "Wafiika barakallah".
Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do'a "Barakallahu fiikum atau Barakallahu fiika" kepada kita, maka kita menjawabnya: "Wafiika barakallah" (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu) (lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun)

Menjawab dengan "jazakallahu khair".
Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan "jazakallahu khairan", dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” (HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Ada beberapa ketentuan dalam mengucapkan jazakallah:
- jazakallahu khairan (engkau, lelaki)
- jazakillahu khairan (engkau, perempuan)
- jazakumullahu khairan (kamu sekalian)
- jazahumullahu khairan (mereka)

Kesimpulan:

Ucapan "Waiyyak" secara harfiah artinya "dan kepadamu juga". Ini adalah bentuk do'a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo'a dengan selain ucapan "Jazakumullah khairan" dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan "jazakalla khair", inilah sunnahnya.

Ada satu kaidah ushul fiqih yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid'ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah.

Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu) beliau berkata, "Ilmu itu sebelum berkata dan beramal". Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).

Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya.

Muraja':
- sunniforum.com/forum/showthread.php?t=3105
- darussalaf.or.id/stories.php?id=1520
- Hisnul Muslim, Syaikh Said bin Ali Al Qathani

Semoga bermanfaat, Wallahu ta'ala a'lam bissowab.

dari berbagai sumber...., salam.

Recent Readers